Rabu, 09 September 2015

PENDEKATAN SOSIOLOGIS (TEORI FUNGSIONAL, KONFLIK DAN INTERPRETATIF) DALAM AGAMA



PENDEKATAN SOSIOLOGIS (TEORI FUNGSIONAL , KONFLIK DAN INTERPRETATIF) 
DALAM AGAMA 
 



 




 


 
KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan untuk memenuhi  tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam
oleh Gurunda Mansur Ulhab, M.Pd.I Semester VB Jurusan                           Pendidikan Agama Islam

Oleh : Kelompok IV
*      Nahdha Ja’far              :  12220037
*      Nurul Fadilah               :  12220040



FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG KAB.WAJO
2014

KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT ,kami mohon ampun dan pertolongan hanya kepada-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan  ke zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu Kelompok IV dapat menyelesaikan  karya tulis ilmiah mata kuliah  Sosiologi Pendidikan Islam  dengan judul  PENDEKATAN SOSIOLOGIS (TEORI FUNGSIONAL , KONFLIK DAN INTERPRETATIF) DALAM AGAMA ”.
Terima Kasih yang tidak terhingga kami haturkan kepada orang tua yang telah memberikan dukungan penuh kepada kami, begitu pula kepada Dosen Pengampuh Gurunda Mansur Ulhab, M.Pd.I, yang selalu memberikan kritik-kritik membangun demi terwujudnya kami menjadi mahasiswa yang berguna dan berahlaqul karimah .
Harapan besar kami semoga makalah ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa wawasan baru bagi kami khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada umumnya.
Sengkang,   11   September  2014

                                                                             Kelompok  IV



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1-3
A.         Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B.         Rumusan Masalah.............................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 4-20
A.        Pendekatan Sosiologis  .................................................................      4
1.      Pengertian Pendekatan Sosiologis.............................................      4
2.      Hubungan  Agama dengan Kehidupan Sosial...........................      6
B.         Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif ) dalam Agama                 9
1.      Teori Fungsionalisme.................................................................     10
2.      Teori Konflik  ...........................................................................     13
3.      Teori Interpretatif......................................................................    17    
BAB III PENUTUP............................................................................................. 21-22
A.        Kesimpulan....................................................................................     21
B.         Saran  ............................................................................................     22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................     23



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
Dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama”  ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo,[1]pedoman hidup, ultimate consern dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya  yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusia belaka.[2]
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif  di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan, atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.[3]
Oleh karena itu, pengkajian terhadap agama tidak akan cukup dengan hanya menggunakan satu pendekatan, misalnya dengan pendekatan normatif saja, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan mengabaikan pendekatan yang lain. Karena dengan multi pendekatan, kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal itu tidak boleh terjadi.[4]
Dalam Islam, dua dekade terakhir, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic Studies dan perhatian akan problem-problem yang dihasilkan dari berabagai approac atau pendekatan ini, sehingga dapat dibedakan misalnya, pendekatan filologi, historis, antropologis dan sosiologis terhadap data-data keagamaan. Dalam setiap pendekatan dapat dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses.[5]
Dari berbagai pendekatan yang ada tersebut, dalam  karya tulis ilmiah ini penulis ingin mencoba mendeskripsikan tentang pendekatan sosiologis dengan teori fungsional, konflik dan iterpretatif.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas penulis akan mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Sosiologis?
2.      Bagaimana penerapan Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif)  dalam Agama?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Sosiologis
1.      Pengertian Pendekatan Sosiologis
            Pendekatan sosiologis terdiri dari dua suku kata yakni “pendekatan” dan “sosiologis”. Pendekatan berasal dari akar kata “dekat” yang berarti pendek, tidak jauh (jarak atau antaranya). [1] setelah mendapat awalan “pe”, dan akhiran “an” menjadi pendekatan yang berarti;
1.      Proses, perbuatan, cara mendekati dan;
2.      Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.[2]
Yang dalam bahasa inggris sepadan dengan kata “approach” yang berarti pendekatan baru dalam mempelajari masyarakat.[3]
Sedangkan kata “sosiologi” secara lughawi berarti pengetahuan atau ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan masyarakat.[4] Dan secara istilahi ada beberapa pendapat yang dapat dilihat berikut ini.
Hasan Shadily menyatakan bahwa sosiologi  adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang mneguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.[5]
            Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi  sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial, mengingat bahwa pengetahuan prihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[6]
Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.[7] Dan masih banyak lagi defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, tapi pada intinya dapat dipahami bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.  Dengan ilmu ini suatu penomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial  serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Jadi pendekatan sosiologis dipahami sebagai cara atau metode yang dilakukan dengan mengaitkannya dengan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-data terhadap ajaran agama.
Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah sosial. Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami agamanya.
2.      Hubungan  Agama dengan Kehidupan Sosial
Agama sering menjadi bahan perbincangan, dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya karena masing-masing memandang agama dari sudut pandang yang berbeda. Satu pihak misalnya  memandang bahwa kesadaran  agama sedang bangkit, karena melihat pengunjung masjid yang melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah, FASI (Festival Anak Shaleh Indonesia) dilaksanakan dengan sangat  megah dan lain-lain. Pihak yang lain menunjukkan mundurnya  perasaan beragama dengan melihat meningkatnya tindakan kriminal, prilaku anti sosial, dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan kepada mereka bahwa agama yang mereka bicarakan  adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, yang kedua, dalam dimensi sosial.[8]
Dari sini nampak bahwa dalam membicarakan agama, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari penomena kehidupan sosial umat yang memeluk agama tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa; antara agama dan masyarakat terdapat pengaruh timbal balik dalam artian bahwa agama mempengaruhi hidup kemasyarakatan manusia dalam berabagai bidangnya, demikian pula sebaliknya, bahwa kebanyakan yang berkemabang dalam masyarakat mempengaruhi agama pula.[9]
Pada intinya dalam agama termuat dua ajaran pokok, yang pertama, hal-hal yang mengatur hubungan antara orang yang beragama dengan Tuhannya, dalam Islam dikenal dengan hablun minallah, dan yang kedua, yang mengatur hubungan antara sesama hamba, dalam Islam dikenal dengan istilah hablun minan nas. Yang pertama adalah urusan ritual, dan yang kedua urusan sosial.
 Dalam ajaran Islam penekanan mengenai urusan sosial lebih besar daripada urusan ritual. Proporsi Al-Quran dan Al-Hadits terhadap urusan muamalah atau sosial lebih besar daripada ibadah atau ritual, oleh Ayatullah Khomeini dalam bukunya  Al-Hukumah al-Islamiyah seperti yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus -- untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah[10].
Dalam kitab-kitab hadis, bab ibadah  hanya merupakan bagian kecil dari seluruh hadis. Misalnya dari dua puluh jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari,  hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah, selebihnya membicarakan masalah muamalah (sosial).
Bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah perseorangan. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat-nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Ganjaran orang yang melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan lebih besar daripada ibadah sunnah.[11]
Semakin jelaslah bahwa agama, disamping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut  melahirkan prilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Prilaku tersbut saling mempengaruhi satu sama lain . Norma-norma  dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap prilaku sosial.
Dapat disimpulkan bahwa Pendekatan sosiologis merupakan cara atau metode yang dilakukan dengan mengaitkan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-data terhadap sesuatu yang diteliti. Jadi bila yang diteliti itu adalah kegiatan keberagamaan sesorang, maka data-data sosial yang ditimbulkan oleh akibat keberagamaan itulah yang menjadi obyek penelitian.  Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah sosial. Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami agamanya.

B.      Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif ) dalam  Agama .
Dalam sosiologi terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Di antara pendekatan itu yang sering dipergunakan adalah fungsionalisme, pertukaran,  interaksionalisme simbolik, konflik, teori penyadaran, dan ketergantungan, interpretatif. Dalam makalah ini hanya akan mengemukakan tiga di antaranya yakni; fungsionalisme, konflik, dan interpretatif.
1.      Teori Fungsionalisme.
Teori ini dikembangkan dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcott Parson, dan Robert K. Marton. Salah satu pemikiran Durkheim ialah:  fakta sosial atau realitas sosial akan membentuk prilaku individu. Karena itu, Durkheim sering disebut  strukturalis. Berbagai struktur masyarakat dipahami sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk prilaku individu. Sementara itu Max Weber menganalisa bagaimana pengaruh agama terhadap prilaku ekonomi, khususnya dalam mendorong tumbuhnya kapitalisme. Selain itu, ritus keagamaan dipahami sebagai pranata sosial yang dipelihara oleh para pemeluknya dalam sebuah komunitas sosial. logika yang dikembangkannya ialah: sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata sosial berpengaruh terhadap prilaku ekonomi.[12]
Sedangkan Talcott Parson merupakan salah seorang tokoh fungsional yang lebih menekankan pada keserasian, keteraturan dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati bersama menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas, dan dengan adanya nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama itu, maka dalam masyarakat akan terjadi keteraturan. Nilai tersebut harus senantiasa dipertahankan agar masyarakat tetap berada dalam keteraturan dan keserasian. Oleh karena itu setiap anggota masyarkat harus dididik sedemikian rupa agar memamahami nilai-nilai yang menjadi patokan bersama.[13]
Sejalan dengan Parson Robert K Marton mengembangkan teori fungsionalisme lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa, bila masyarakat merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, maka masyarakat akan menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial. Ketika masyarakat merasa tidak puas terhadap nilai-nilai yang ada, sebuah komunitas tidak memiliki faktor yang mengikat satu sama lain. hal ini akan mendorong tindakan disintegrasi sosial. Karena itu, Marton menekankan pentingnya nilai dan norma. Bila norma berubah akan terjadi perubahan sosial.[14]
Dari teori-teori yang dikemukakan di atas dapatlah dipahami bahwa prilaku sosial yang terdapat dalam sebuah komunitas dapat dijelaskan dengan faktor agama. Nilai-nilai agama yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas merupakan pranata sosial yang akan berpengaruh terhadap realitas dan prilaku. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dengan teori fungsional ini miasalnya antara lain; sejauh mana prilaku ekonomi sebuah komunitas dipengaruhi oleh ketaatan beragama?, sejauh manakah nilai-nilai dan norma agama menjadi pegangan bersama dalam sebuah komunitas? Sejauh mana nilai-nilai dan norma tersebut telah menciptakan ketertiban , keteraturan dan integrasi masyarakat?.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbalbalik yang saling pengaruh mempengaruhi ; masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadapa masyarakat.
Herbert Spencer seperti yang dikutip oleh Noeng Muhadjir memberikan analogi masyarakat dengan organisme hidup. Masyarakat sebagaimana organisme hidup mengalami pertumbuhan. Bagian-bagian dari keseluruhan struktur menjadi lebih besar, fungsinya lebih kompleks. Setiap bagian menjalankan fungsi atau melaksanakan tugasnya. Masyarakat satu dengan yang lain berbeda tingkat perkembangannya, sehingga berbeda pula tingkat kompleksitasnya struktur dan fungsinya. Sebagaiaman dalam organisme hidup (tentang fungsi mata, telinga, kaki dan tangan), terdapat saling ketergantungan antara bagian masyarakat yang satu dengan bagian lain.[15]
Teori fungsional memandang masyarakat sebagai satu jaringan kerjasama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Misalnya, fenomena saling ketergantungan anatara “sekolah dengan anak didik, guru dan orang tua, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan”, dan sebagainya. Fungsi jaringan itu akan menjadi disfungsional jika salah satu subdisiplin menjadi tidak berfungsi. Seperti, keluarga besar tidak selamanya berkaitan dengan kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Sebaliknya keluarga besar itu menjadi tidak berfungsi, bahkan menghambat fungsi-fungsi lain, jika ia menyebabkan kesehatan menjadi bertambah buruk, pengangguran semakin marak, dan sebaginya.[16]
2.      Teori Konflik
Konflik  artinya percekcokan, perselisihan, pertentangan.[17] Dalam hal ini pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarakelompok kecil, bahkan antarbangsa dan negara.[18]
Dampak konflik pada umumnya negatif. Misalnya, anak yang mempunyai orang tua yang terus menerus bertengkar akan berkurang kepekaan afeksinya, tetapi mudah terpengaruh prilakunya. Konflik intertim olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok, dan konflik antarbangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja sama dan perdamaian daripada konflik. Akan tetapi, mengapa tetap saja terjadi konflik? apakah benar bahwa konflik itu selalu merugikan? apakah konflik bisa diubah menjadi kerja sama?
Teori konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Max, yang melihat pertentangan dan ekploitasi kelas sebagai penggerak utama,[19] Selain Marx dan Hegel tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser [20].  Lewis Coser (1956) mengetangahkan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial. Konflik menurut Coser mempunyai fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial. Fungsi positif konflik adalah membentuk, mempersatukan, dan memelihara struktur sosial, sedangkan fungsi negatif konflik menimbulkan keraguan dan kebimbangan pada nilai sosial.[21]
Teori-teori konflik dapat digunakan untuk menjelaskan kecendrungan integrasi dan disintegrasi yang dialami sebuah sistem sosial. Teori konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka. Perjuangan untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka seringkali bermuara pada terjadinya konflik antara satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lain.
 .Ketika terjadi konflik antara satu komunitas dengan komunitas lain, hubungan antara anggota komunitas cendrung integratif, sekalipun sebelumnya terjadi konflik. Kelompok-kelompok beragama yang senantiasa bersaing di Indonesia bersatu menghadapi bahasa komunisme di tahun 1960-an. Partai-partai politik Islam yang sulit bersatu, dalam sidang umum MPR 1999 bersatu membentuk Poros tengah untuk menghadapi PDI yang dianggap sebagai saingan bersama. Mereka merasakan adanya musuh bersama yang harus dihadapi, mereka memiliki perasaan senasib sehingga muncul rasa solidaritas antar anggota komunitas. Sebaliknya jika tidak ada konflik antar komunitas, terdapat kecendrungan disintegrasi. Tidak ada rasa senasib, rasa bersama, dan solidaritas antar kelompok. Persaingan antar anggota komunitas mengakibatkan kecendrungan disintegrasi sosial.
Dengan demikian, bila dalam komunitas terdapat kecendrungan disintegrasi (perpecahan), maka peneliti dapat menggunakan pendekatan konflik untuk melakukan anlisis terhadap kondisi tersebut. Demikian halnya suasana yang cendrun integratif dan terwujud solidaritas sosial yang cukup baik dalam sebuah masyarakat, hal ini pula dapat dianalisis dengan pendekatan konflik. Apakah integrasi tersebut terjadai karena adanya nilai bersama, atau merasakan adanya musuh yang harus dihadapi bersama-sama.
Kalau pendekatan fungsionalisme menekankan pada jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis, sedangkan teori konflik memandang bahwa masyarakat itu terikat kerja sama yang erat ksrena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan, dengan demikian bidang kajian  pendekatan konflik adalah: “Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan kedudukannya, sebaliknya bagaiaman kelompok bawah yang ditekan berjuang melepaskan belenggu yang mengikutinya.[22]
Ilusi berikut ini dapat memberikan gambaran bagaimana perbedaan perspektif pedekatan fungsional dan konflik dengan kasus sebuah kekacauan yang pernah terjadi di Universitas Cerbellum, sebagaiama dituturkan Paul B. Horton dan Chster L. Hut, (1987:21).
“Pekan lalu komisi administrasi fakultas, tanpa konsultasi dengan para mahasiswa, mengeluarkan seperangkat prosedur penentuan kenaikan tingkat yang baru. Setelah beberapa hari aturan itu dikeluarkan , sekelompok mahasiswa marah dengan aturan baru itu, pada hari berikutnya mereka berkumpul dalam ruang makan, menerobos ruang administrasi, menggiring keluar rektor, dekan dan pengurus lainnya serta minta staf sekretariat lainnya berlibur. Mereka memasang rintangan pada semua pintu. Polisi diminta datang untuk mengamankan peristiwa itu”
Berikut  disajikan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sang pengamat itu dalam menagani kasus ini dalam perspektif pendekatan sosiologi.
A.    Perspektif  Fugsionalisme.
a.       Alasan-alasan apakah yang mendorong perubahan tersebut?
b.      Dengan perubahan kebijaksanaan tersebut tujuan apakah yang kiranya bisa   dicapai bagi universitas dan bagi mahasiswa ?
c.       Akibat-akibat apakah yang bisa muncul dari konfrontasi itu?
B.     Pespektif Konflik
a.       Mengapa masukan dari mahasiswa tidak diminta sebelum konfrontasi itu terjadi?
b.      Siapakah yang mendapat keuntungan dan siapa yang dirugikan dengan perubahan kebijakan ini
c.       Mengapa fakultas dan bidang administrasi menginginkan perubahan ini dan mengapa mahasiswa menentangnya?
3.      Interpretatif (interpretif)
Sosiologi interpretatif atau interpretif merupakan salah satu jenis dari sosiologi (termasuk interaksionisme simbolik, fenomenologi sosial, dan pendekatan yang dibangun oleh Weber), dipersatukan oleh sebuah penekanan yang dikemukakan oleh para sosiolog untuk memahami atau menafsirkan makna-makna para pelaku sosial (lihat juga interpretasi pemahaman dan penjelasan yang penuh dengan arti, hermeneutik dan dobel hermeneutik).
Dalam argumen ini, untuk melihat segala realitas sosial perlu dilakukan pra-interpretasi (interpretasi awal), di mana bentuk ini hanya menyoroti penyelesaian terhadap kepercayaan-kepercayaan dan penafsiran-penafsiran pelaku sosial (sosial aktor), kemudian disimpulkan bahwa tidak ada kebenaran sosiologi tanpa pemahaman awal terhadap makna-makna dari pelaku sosial. Durkheim dalam bukunya “Rulers” menegaskan bahwa kemampuan untuk menghasilkan sebuah studi yang obyektif  terhadap fakta-fakta sosial tanpa merujuk pada pelaku sosial, adalah keliru atau salah arah.[23]
Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Noeng Muhajir mengemukakan bahwa interpretif adalah mencari “makna”, bukan mencari hukum; berupaya memahami, bukan mencari teori. Menurutnya interpretif merupakan phenomena hermeneutik yang memerlukan pemaknaan, bukan memerlukan penjelasan kausal. Selanjutnya ia mengetakan bahwa tidak ada sosial facts yang menunggu observasi kita. Yang ada adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya. Untuk memberi makna perlu membuat inscripsi, bukan sekedar observasi atau deskripsi. Studi Geertz di Jawa, Bali, dan Maroko mencoba memakai konsep-konsep mereka tentang imajinasinya, makna simbolik kata-katanya, institusinya, perilakunya, dan lain-lain.[24]
Postpositivist interpretif mengimplisitkan nilai dibalik data, baik pada tingkat observasi, analisis, maupun kesimpulan. “Makna” pada postpositiv rasionalistik diperoleh lewat pemaknaan rasional yang spesifik pada payung teori yang lebih umum. “Makna” pada pospositiv interpretif diperoleh lewat pemaknaan esensial phenomenologik pada grass root.[25] Para interpretivist memaknai realitas sosial sesuai dengan  experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri.[26]
 Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif) dalam Agama  pada  Teori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. Apabila setiap anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan membentuk integrasi kelompok dengan baik pula. Tapi bila ada anggota kelompok tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam kelompok tersebut.  Sedangkan Teori Konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari sisi mananya konflik itu mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan membentuk integrasi dan sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk disintegrasi.  Adapun Teori Interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pendekatan sosiologis merupakan cara atau metode yang dilakukan dengan mengaitkan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-data terhadap sesuatu yang diteliti. Jadi bila yang diteliti itu adalah kegiatan keberagamaan sesorang, maka data-data sosial yang ditimbulkan oleh akibat keberagamaan itulah yang menjadi obyek penelitian.  Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah sosial. Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami agamanya.
2.      Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif) dalam Agama  pada Teori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan adalah sejauh mana fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. Apabila setiap anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan membentuk integrasi kelompok dengan baik pula. Tapi bila ada anggota kelompok tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam kelompok tersebut.  Sedangkan Teori Konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari sisi mananya konflik itu mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan membentuk integrasi dan sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk disintegrasi.  Adapun Teori Interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.
B.     Saran
Bagi para pembaca dan pemerhati ilmu pengetahuan untuk meningkatkan budaya membaca dan menggali informasi dari berbagai literatur yang ada, baik di perpustakaan dan media- media lain untuk menambah wawasan dan  membuka persfektif juga pemikiran kita terhadap disiplin ilmu ini mengingat urgensinya dalam memahami agama itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. X; Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Echols, John M. Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Cet. XXIII; Jakarta: PT  Gramedia, 1996.
Hassan Shadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia  Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Jary, Devid. & Julia Jary, The Harper Collins Dictionary Sociologis New York: Harper Collins Publisher, 1991.
Latif, Abdul. Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama, 2009
Martin, Richard C. Approaches to Islam in Religious Studies diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dengan judul Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama Cet. I; Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif  edisi IV  Cet. I; Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Nasution,Harun . Islam Rasional  Bandung: LSAF, 1989.
Nata, Abuddin.  Metodologi Studi Islam Cet. IV; Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Permata, Ahmad Norma. (ed), Metodologi Studi Agama Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Pospito, Henro. Sosiologi Agama  Cet. XI Yogyakarta: Kamsius, 1994.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif  Cet. IX; Bandung: Mizan, 1998.
Ridwan, M. Deden. (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu Cet. I; Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar  Cet. XXXI; Jakarta: Rajawali Pers, 2001.





[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,. Op.Cit ,h. 217
[2] Ibid .,h .218
[3]John M. Echols Hassan Shadily ,Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XXIII ,Jakarta :PT  Gramedia, 1996), h. 35
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan .Op.Cit .,h. 958
[5]  Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Cet IX, Jakarta :Bina Aksara 1983), h 1
[6] Lihat  Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XXXI Jakarta: Rajawali Pers 2001), h 21-2
[7] Ibid ,h 20
[8] Jalaluddin Rahmat , Islam Alternatif  (Cet IX Bandung: Mizan 1998), h 37
[9] Harun Nasution, Islam Rasional  (Bandung :LSAF ,1989 ) ,h. 419
[10] Ibid., h 48
[11] Lihat Ibid, h. 48-52
                [12] H.M. Sayuthi Ali Metodologi Penelitian Agama (Cet I Jakarta: PT Raja Grafindo Persada ,2002), h. 100
[13] Lihat Ibid , h. 101-102
[14] Ibid.
[15] Noeng Muhadjir Metodologi Penelitian Kualitatif  (edisi IV,Cet I ,Yogyakarta: Rak Sarasin 2000) , h. 72
[16] Mastuhu ,“Penelitian Agama Islam: Tinjuan Disiplin Sosiologi”, dalam M. Deden Ridwan (ed.) Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Cet I Bandung: Penerbit Nuansa ,2001), .h 110
[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  .Op.Cit ., h, 518
[18] Sarlito Wirawan Sarwono ,Psikologi Sosial Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (Cet I ,Jakarta:  Balai Pustaka, 1999) , h. 129
[19] Henro Pospito, Sosiologi Agama  (Cet XI, Yogyakarta : Kamsius ,1994) , h .7
[20] Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, ( Bandung: Refika Aditama, 2009) , h. 39
[21] Noeng Muhadjir  .Op.Cit ., h 74-75
[22] Lihat M. Deden Ridwan  .Op.Cit ., h 110-101
[23]Lihat Devid Jary & Julia Jary ,The Harper Collins Dictionary Sociologis ( New York :Harper Collins Publisher ,1991), h. 249
[24]Lihat Noeng Muhajir,  .Op.Cit .,., h. 119.
[25] Ibid, h. 198.
[26] Ibid, h. 320-321






[1]Kredo artinya pernyataan kepercayaan (keyakinan), lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet X Jakarta Balai Pustaka 1999 h 530
[2]M. Amin Abdullah –Pengantar- dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi Studi Agama Cet I Yogyakarta Pustaka Pelajar 2000 h 1
[3] Abuddin Nata Metodologi Studi Islam Cet IV Jakarta Rajawali Pers, 2000 h 27
[4] Ibid 
[5] H.M. Amin Abdullah -Kata Pengantar- dalam Richard C. Martin Approaches to Islam in Religious Studies diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dengan judul Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama Cet I Surakarta Muhammadiyah University Press 2001 h iv