KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam
oleh Gurunda Mansur Ulhab, M.Pd.I Semester VB
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Oleh : Kelompok IV
Nahdha
Ja’far :
12220037
Nurul
Fadilah : 12220040
FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG KAB.WAJO
2014
KATA PENGANTAR
Segala Puji
bagi Allah SWT ,kami mohon ampun dan pertolongan hanya kepada-Nya. Shalawat
serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia dari zaman kebodohan ke
zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu Kelompok IV dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah mata
kuliah Sosiologi Pendidikan Islam dengan judul “PENDEKATAN SOSIOLOGIS (TEORI FUNGSIONAL ,
KONFLIK DAN INTERPRETATIF) DALAM AGAMA ”.
Terima Kasih
yang tidak terhingga kami haturkan kepada orang tua yang telah memberikan
dukungan penuh kepada kami, begitu pula kepada Dosen Pengampuh Gurunda Mansur
Ulhab, M.Pd.I, yang selalu memberikan
kritik-kritik membangun demi terwujudnya kami menjadi mahasiswa yang berguna
dan berahlaqul karimah .
Harapan besar
kami semoga makalah ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa wawasan baru
bagi kami khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada umumnya.
Sengkang, 11 September 2014
Kelompok IV
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................
1-3
A.
Latar Belakang
Masalah..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 3
BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................
4-20
A.
Pendekatan
Sosiologis ................................................................. 4
1.
Pengertian
Pendekatan Sosiologis............................................. 4
2.
Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial........................... 6
B.
Pendekatan
Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif ) dalam Agama
9
1.
Teori
Fungsionalisme................................................................. 10
2.
Teori Konflik ........................................................................... 13
3.
Teori
Interpretatif......................................................................
17
BAB III PENUTUP.............................................................................................
21-22
A.
Kesimpulan.................................................................................... 21
B.
Saran ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah
Dalam diskursus
keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama”
ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi
seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan
persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo,[1]pedoman hidup, ultimate consern dan seterusnya. Selain ciri
dan sifat konvensionalnya yang memang
mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan
ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis
kultural yang juga merupakan keniscayaan manusia belaka.[2]
Dewasa ini
kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan, atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.[3]
Oleh karena
itu, pengkajian terhadap agama tidak akan cukup dengan hanya menggunakan
satu pendekatan, misalnya dengan pendekatan normatif saja, seperti yang telah
dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan mengabaikan pendekatan yang lain.
Karena dengan multi pendekatan, kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan,
maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak
fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain
agama, dan hal itu tidak boleh terjadi.[4]
Dalam Islam,
dua dekade terakhir, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai
pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic Studies dan perhatian akan
problem-problem yang dihasilkan dari berabagai approac atau pendekatan
ini, sehingga dapat dibedakan misalnya, pendekatan filologi, historis,
antropologis dan sosiologis terhadap data-data keagamaan. Dalam setiap
pendekatan dapat dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih
kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang
digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang
akan diakses.[5]
Dari berbagai pendekatan yang ada tersebut,
dalam karya tulis ilmiah ini penulis ingin mencoba mendeskripsikan
tentang pendekatan sosiologis dengan teori fungsional, konflik dan
iterpretatif.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas penulis akan
mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Pendekatan
Sosiologis?
2.
Bagaimana penerapan Pendekatan Sosiologis (Teori
Fungsional, Konflik dan Interpretatif) dalam Agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Sosiologis
1. Pengertian
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis terdiri dari dua suku kata yakni “pendekatan”
dan “sosiologis”. Pendekatan berasal dari akar kata “dekat” yang berarti
pendek, tidak jauh (jarak atau antaranya). [1] setelah mendapat awalan “pe”, dan akhiran “an” menjadi pendekatan
yang berarti;
1. Proses,
perbuatan, cara mendekati dan;
2.
Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan
dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang
masalah penelitian.[2]
Yang dalam
bahasa inggris sepadan dengan kata “approach” yang berarti pendekatan
baru dalam mempelajari masyarakat.[3]
Sedangkan kata
“sosiologi” secara lughawi berarti pengetahuan atau ilmu tentang sifat,
prilaku dan perkembangan masyarakat.[4] Dan secara istilahi ada beberapa pendapat yang dapat
dilihat berikut ini.
Hasan Shadily menyatakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang mneguasai hidupnya itu. Sosiologi
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh
serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia.[5]
Soerjono Soekanto mengartikan
sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana
sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial, mengingat bahwa
pengetahuan prihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[6]
Roucek dan
Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.[7] Dan masih banyak lagi defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para
ahli, tapi pada intinya dapat dipahami bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu penomena sosial dapat
dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas
sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut.
Jadi pendekatan sosiologis dipahami sebagai
cara atau metode yang dilakukan dengan mengaitkannya dengan sosiologi guna
menganalisa dan mengungkap data-data terhadap ajaran agama.
Pendekatan sosiologi dalam memahami agama
sangat penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah
sosial. Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang
yang beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami
agamanya.
2. Hubungan Agama dengan
Kehidupan Sosial
Agama sering
menjadi bahan perbincangan, dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya
karena masing-masing memandang agama dari sudut pandang yang berbeda. Satu
pihak misalnya memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit, karena melihat
pengunjung masjid yang melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah, FASI
(Festival Anak Shaleh Indonesia) dilaksanakan dengan sangat megah dan lain-lain. Pihak yang lain
menunjukkan mundurnya perasaan beragama
dengan melihat meningkatnya tindakan kriminal, prilaku anti sosial, dan
kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan kepada
mereka bahwa agama yang mereka bicarakan
adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi
ritual, yang kedua, dalam dimensi sosial.[8]
Dari sini
nampak bahwa dalam membicarakan agama, seseorang tidak bisa melepaskan diri
dari penomena kehidupan sosial umat yang memeluk agama tertentu. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa; antara agama dan
masyarakat terdapat pengaruh timbal balik dalam artian bahwa agama mempengaruhi
hidup kemasyarakatan manusia dalam berabagai bidangnya, demikian pula
sebaliknya, bahwa kebanyakan yang berkemabang dalam masyarakat mempengaruhi
agama pula.[9]
Pada intinya
dalam agama termuat dua ajaran pokok, yang pertama, hal-hal yang mengatur
hubungan antara orang yang beragama dengan Tuhannya, dalam Islam dikenal dengan
hablun minallah, dan yang kedua, yang mengatur hubungan antara sesama
hamba, dalam Islam dikenal dengan istilah hablun minan nas. Yang pertama
adalah urusan ritual, dan yang kedua urusan sosial.
Dalam ajaran Islam penekanan mengenai urusan
sosial lebih besar daripada urusan ritual. Proporsi Al-Quran dan Al-Hadits
terhadap urusan muamalah atau sosial lebih besar daripada ibadah atau ritual,
oleh Ayatullah Khomeini dalam bukunya Al-Hukumah
al-Islamiyah seperti yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah satu berbanding seratus -- untuk satu ayat ibadah, ada seratus
ayat muamalah[10].
Dalam
kitab-kitab hadis, bab ibadah hanya
merupakan bagian kecil dari seluruh hadis. Misalnya dari dua puluh jilid Fath
al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah,
selebihnya membicarakan masalah muamalah (sosial).
Bila urusan
ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Ibadah yang
mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah
perseorangan. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena
melanggar pantangan tertentu, maka kifarat-nya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Ganjaran orang yang
melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan lebih besar daripada ibadah
sunnah.[11]
Semakin
jelaslah bahwa agama, disamping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga
merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut melahirkan prilaku sosial, yakni perilaku
yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Prilaku tersbut
saling mempengaruhi satu sama lain . Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat
berpengaruh terhadap prilaku sosial.
Dapat
disimpulkan bahwa Pendekatan sosiologis merupakan cara atau metode yang dilakukan dengan
mengaitkan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-data terhadap sesuatu
yang diteliti. Jadi bila yang diteliti itu adalah kegiatan keberagamaan
sesorang, maka data-data sosial yang ditimbulkan oleh akibat keberagamaan
itulah yang menjadi obyek penelitian. Pendekatan sosiologi dalam memahami agama sangat
penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah sosial.
Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang
beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami
agamanya.
B.
Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional,
Konflik dan Interpretatif ) dalam Agama .
Dalam sosiologi
terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan untuk memahami
berbagai fenomena sosial keagamaan. Di antara pendekatan itu yang sering
dipergunakan adalah fungsionalisme, pertukaran, interaksionalisme simbolik, konflik, teori
penyadaran, dan ketergantungan, interpretatif. Dalam makalah ini hanya akan
mengemukakan tiga di antaranya yakni; fungsionalisme, konflik, dan
interpretatif.
1.
Teori Fungsionalisme.
Teori ini
dikembangkan dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Weber,
Talcott Parson, dan Robert K. Marton. Salah satu pemikiran Durkheim ialah: fakta sosial atau realitas sosial akan
membentuk prilaku individu. Karena itu, Durkheim sering disebut strukturalis. Berbagai struktur masyarakat
dipahami sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk prilaku
individu. Sementara itu Max Weber menganalisa bagaimana pengaruh agama terhadap
prilaku ekonomi, khususnya dalam mendorong tumbuhnya kapitalisme. Selain itu,
ritus keagamaan dipahami sebagai pranata sosial yang dipelihara oleh para
pemeluknya dalam sebuah komunitas sosial. logika yang dikembangkannya ialah:
sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata sosial berpengaruh
terhadap prilaku ekonomi.[12]
Sedangkan
Talcott Parson merupakan salah seorang tokoh fungsional yang lebih menekankan
pada keserasian, keteraturan dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial.
Menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati
bersama menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas,
dan dengan adanya nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama itu, maka
dalam masyarakat akan terjadi keteraturan. Nilai tersebut harus senantiasa
dipertahankan agar masyarakat tetap berada dalam keteraturan dan keserasian.
Oleh karena itu setiap anggota masyarkat harus dididik sedemikian rupa agar
memamahami nilai-nilai yang menjadi patokan bersama.[13]
Sejalan dengan
Parson Robert K Marton mengembangkan teori fungsionalisme lebih lanjut, ia
mengemukakan bahwa, bila masyarakat merasa puas dengan nilai-nilai yang ada,
maka masyarakat akan menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama
merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial. Ketika masyarakat
merasa tidak puas terhadap nilai-nilai yang ada, sebuah komunitas tidak memiliki
faktor yang mengikat satu sama lain. hal ini akan mendorong tindakan
disintegrasi sosial. Karena itu, Marton menekankan pentingnya nilai dan norma.
Bila norma berubah akan terjadi perubahan sosial.[14]
Dari teori-teori yang
dikemukakan di atas dapatlah dipahami bahwa prilaku sosial yang terdapat dalam
sebuah komunitas dapat dijelaskan dengan faktor agama. Nilai-nilai agama yang tumbuh dan berkembang
dalam sebuah komunitas merupakan pranata sosial yang akan berpengaruh terhadap
realitas dan prilaku. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dengan
teori fungsional ini miasalnya antara lain; sejauh mana prilaku ekonomi sebuah
komunitas dipengaruhi oleh ketaatan beragama?, sejauh manakah nilai-nilai dan
norma agama menjadi pegangan bersama dalam sebuah komunitas? Sejauh mana
nilai-nilai dan norma tersebut telah menciptakan ketertiban , keteraturan dan
integrasi masyarakat?.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa metode
fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut berpendirian pokok bahwa
unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbalbalik yang
saling pengaruh mempengaruhi ; masing-masing mempunyai fungsi tersendiri
terhadapa masyarakat.
Herbert Spencer
seperti yang dikutip oleh Noeng Muhadjir memberikan analogi masyarakat dengan
organisme hidup. Masyarakat sebagaimana organisme hidup mengalami pertumbuhan.
Bagian-bagian dari keseluruhan struktur menjadi lebih besar, fungsinya lebih
kompleks. Setiap bagian menjalankan fungsi atau melaksanakan tugasnya.
Masyarakat satu dengan yang lain berbeda tingkat perkembangannya, sehingga
berbeda pula tingkat kompleksitasnya struktur dan fungsinya. Sebagaiaman dalam
organisme hidup (tentang fungsi mata, telinga, kaki dan tangan), terdapat
saling ketergantungan antara bagian masyarakat yang satu dengan bagian lain.[15]
Teori
fungsional memandang masyarakat sebagai satu jaringan kerjasama kelompok yang
saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Misalnya,
fenomena saling ketergantungan anatara “sekolah dengan anak didik, guru dan
orang tua, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan”, dan sebagainya. Fungsi
jaringan itu akan menjadi disfungsional jika salah satu subdisiplin menjadi
tidak berfungsi. Seperti, keluarga besar tidak selamanya berkaitan dengan
kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Sebaliknya keluarga besar itu menjadi tidak
berfungsi, bahkan menghambat fungsi-fungsi lain, jika ia menyebabkan kesehatan
menjadi bertambah buruk, pengangguran semakin marak, dan sebaginya.[16]
2.
Teori Konflik
Konflik artinya percekcokan, perselisihan,
pertentangan.[17] Dalam hal ini pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik
dapat terjadi antarindividu, antarakelompok kecil, bahkan antarbangsa dan
negara.[18]
Dampak konflik pada umumnya negatif. Misalnya,
anak yang mempunyai orang tua yang terus menerus bertengkar akan berkurang
kepekaan afeksinya, tetapi mudah terpengaruh prilakunya. Konflik intertim
olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok, dan
konflik antarbangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban
jiwa.
Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja
sama dan perdamaian daripada konflik. Akan tetapi, mengapa tetap saja terjadi
konflik? apakah benar bahwa konflik itu selalu merugikan? apakah konflik bisa
diubah menjadi kerja sama?
Teori konflik
secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Max, yang melihat pertentangan
dan ekploitasi kelas sebagai penggerak utama,[19] Selain Marx dan Hegel tokoh lain
dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser [20]. Lewis Coser (1956) mengetangahkan peranan
konflik sebagai pendorong perubahan sosial. Konflik menurut Coser mempunyai
fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial. Fungsi positif
konflik adalah membentuk, mempersatukan, dan memelihara struktur sosial,
sedangkan fungsi negatif konflik menimbulkan keraguan dan kebimbangan pada
nilai sosial.[21]
Teori-teori konflik dapat digunakan untuk
menjelaskan kecendrungan integrasi dan disintegrasi yang dialami sebuah sistem
sosial. Teori konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa
kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk
mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka. Perjuangan untuk mewujudkan hasrat
dan kepentingan mereka seringkali bermuara pada terjadinya konflik antara satu
komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lain.
.Ketika
terjadi konflik antara satu komunitas dengan komunitas lain, hubungan antara
anggota komunitas cendrung integratif, sekalipun sebelumnya terjadi konflik.
Kelompok-kelompok beragama yang senantiasa bersaing di Indonesia bersatu
menghadapi bahasa komunisme di tahun 1960-an. Partai-partai politik Islam yang
sulit bersatu, dalam sidang umum MPR 1999 bersatu membentuk Poros tengah untuk
menghadapi PDI yang dianggap sebagai saingan bersama. Mereka merasakan adanya
musuh bersama yang harus dihadapi, mereka memiliki perasaan senasib sehingga
muncul rasa solidaritas antar anggota komunitas. Sebaliknya jika tidak ada
konflik antar komunitas, terdapat kecendrungan disintegrasi. Tidak ada rasa
senasib, rasa bersama, dan solidaritas antar kelompok. Persaingan antar anggota
komunitas mengakibatkan kecendrungan disintegrasi sosial.
Dengan demikian, bila dalam komunitas terdapat
kecendrungan disintegrasi (perpecahan), maka peneliti dapat menggunakan
pendekatan konflik untuk melakukan anlisis terhadap kondisi tersebut. Demikian
halnya suasana yang cendrun integratif dan terwujud solidaritas sosial yang
cukup baik dalam sebuah masyarakat, hal ini pula dapat dianalisis dengan
pendekatan konflik. Apakah integrasi tersebut terjadai karena adanya nilai
bersama, atau merasakan adanya musuh yang harus dihadapi bersama-sama.
Kalau
pendekatan fungsionalisme menekankan pada jaringan kerja sama kelompok yang
saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis, sedangkan
teori konflik memandang bahwa masyarakat itu terikat kerja sama yang erat
ksrena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan, dengan demikian bidang
kajian pendekatan konflik adalah:
“Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan kedudukannya, sebaliknya
bagaiaman kelompok bawah yang ditekan berjuang melepaskan belenggu yang
mengikutinya.[22]
Ilusi berikut ini dapat memberikan gambaran
bagaimana perbedaan perspektif pedekatan fungsional dan konflik dengan kasus
sebuah kekacauan yang pernah terjadi di Universitas Cerbellum, sebagaiama
dituturkan Paul B. Horton dan Chster L. Hut, (1987:21).
“Pekan
lalu komisi administrasi fakultas, tanpa konsultasi dengan para mahasiswa,
mengeluarkan seperangkat prosedur penentuan kenaikan tingkat yang baru. Setelah
beberapa hari aturan itu dikeluarkan , sekelompok mahasiswa marah dengan aturan
baru itu, pada hari berikutnya mereka berkumpul dalam ruang makan, menerobos
ruang administrasi, menggiring keluar rektor, dekan dan pengurus lainnya serta
minta staf sekretariat lainnya berlibur. Mereka memasang rintangan pada semua
pintu. Polisi diminta datang untuk mengamankan peristiwa itu”
Berikut disajikan beberapa pertanyaan yang diajukan
oleh sang pengamat itu dalam menagani kasus ini dalam perspektif pendekatan
sosiologi.
A. Perspektif Fugsionalisme.
a. Alasan-alasan
apakah yang mendorong perubahan tersebut?
b. Dengan
perubahan kebijaksanaan tersebut tujuan apakah yang kiranya bisa dicapai bagi universitas dan bagi mahasiswa
?
c. Akibat-akibat
apakah yang bisa muncul dari konfrontasi itu?
B. Pespektif
Konflik
a. Mengapa masukan
dari mahasiswa tidak diminta sebelum konfrontasi itu terjadi?
b. Siapakah
yang mendapat keuntungan dan siapa yang dirugikan dengan perubahan kebijakan
ini
c. Mengapa
fakultas dan bidang administrasi menginginkan perubahan ini dan mengapa
mahasiswa menentangnya?
3. Interpretatif
(interpretif)
Sosiologi
interpretatif atau interpretif merupakan salah satu jenis dari sosiologi
(termasuk interaksionisme simbolik, fenomenologi sosial, dan pendekatan yang
dibangun oleh Weber), dipersatukan oleh sebuah penekanan yang dikemukakan oleh
para sosiolog untuk memahami atau menafsirkan makna-makna para pelaku sosial
(lihat juga interpretasi pemahaman dan penjelasan yang penuh dengan arti,
hermeneutik dan dobel hermeneutik).
Dalam argumen ini, untuk melihat segala realitas sosial
perlu dilakukan pra-interpretasi (interpretasi awal), di mana bentuk ini hanya
menyoroti penyelesaian terhadap kepercayaan-kepercayaan dan
penafsiran-penafsiran pelaku sosial (sosial aktor), kemudian disimpulkan bahwa
tidak ada kebenaran sosiologi tanpa pemahaman awal terhadap makna-makna dari
pelaku sosial. Durkheim dalam bukunya “Rulers” menegaskan bahwa kemampuan untuk
menghasilkan sebuah studi yang obyektif
terhadap fakta-fakta sosial tanpa merujuk pada pelaku sosial, adalah
keliru atau salah arah.[23]
Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Noeng Muhajir
mengemukakan bahwa interpretif adalah mencari “makna”, bukan mencari hukum;
berupaya memahami, bukan mencari teori. Menurutnya interpretif merupakan phenomena
hermeneutik yang memerlukan pemaknaan, bukan memerlukan penjelasan kausal.
Selanjutnya ia mengetakan bahwa tidak ada sosial facts yang menunggu
observasi kita. Yang ada adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas
observasinya. Untuk memberi makna perlu membuat inscripsi, bukan sekedar
observasi atau deskripsi. Studi Geertz di Jawa, Bali, dan Maroko mencoba
memakai konsep-konsep mereka tentang imajinasinya, makna simbolik kata-katanya,
institusinya, perilakunya, dan lain-lain.[24]
Postpositivist
interpretif mengimplisitkan nilai dibalik data, baik pada tingkat observasi,
analisis, maupun kesimpulan. “Makna” pada postpositiv rasionalistik diperoleh
lewat pemaknaan rasional yang spesifik pada payung teori yang lebih umum.
“Makna” pada pospositiv interpretif diperoleh lewat pemaknaan esensial phenomenologik
pada grass root.[25] Para interpretivist memaknai realitas sosial
sesuai dengan experience-near daripada
pemaknaan peneliti sendiri.[26]
Pendekatan Sosiologis (Teori Fungsional,
Konflik dan Interpretatif) dalam Agama pada Teori fungsional dalam pendekatan sosial
dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh
dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. Apabila setiap
anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan
membentuk integrasi kelompok dengan baik pula. Tapi bila ada anggota kelompok
tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam
kelompok tersebut. Sedangkan Teori
Konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan
terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya
disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari sisi mananya konflik itu
mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan membentuk integrasi dan
sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk disintegrasi. Adapun Teori Interpretatif dimaksudkan
bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari
interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau
suatu bentuk kehidupan sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pendekatan sosiologis merupakan cara atau
metode yang dilakukan dengan mengaitkan sosiologi guna menganalisa dan
mengungkap data-data terhadap sesuatu yang diteliti. Jadi bila yang diteliti
itu adalah kegiatan keberagamaan sesorang, maka data-data sosial yang
ditimbulkan oleh akibat keberagamaan itulah yang menjadi obyek penelitian. Pendekatan sosiologi dalam memahami agama
sangat penting, karena banyaknya keterkaitan agama dengan berbagai masalah
sosial. Perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang
yang beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami
agamanya.
2.
Pendekatan
Sosiologis (Teori Fungsional, Konflik dan Interpretatif) dalam Agama pada Teori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan adalah
sejauh mana fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh
dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. Apabila setiap
anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan
membentuk integrasi kelompok dengan baik pula. Tapi bila ada anggota kelompok
tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam
kelompok tersebut. Sedangkan Teori Konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik
akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga
memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari
sisi mananya konflik itu mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan
membentuk integrasi dan sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk
disintegrasi.
Adapun Teori Interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya
interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah
memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk
kehidupan sosial.
B.
Saran
Bagi para
pembaca dan pemerhati ilmu pengetahuan untuk meningkatkan budaya membaca dan
menggali informasi dari berbagai literatur yang ada, baik di perpustakaan dan
media- media lain untuk menambah wawasan dan
membuka persfektif juga pemikiran kita terhadap disiplin ilmu ini
mengingat urgensinya dalam memahami agama itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama Cet. I; Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Cet. X; Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Echols, John M. Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Cet.
XXIII; Jakarta: PT Gramedia, 1996.
Hassan Shadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Jary, Devid. & Julia Jary, The Harper Collins Dictionary
Sociologis New York: Harper Collins Publisher, 1991.
Latif, Abdul. Pendidikan
Bebasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama, 2009
Martin, Richard C. Approaches to Islam in Religious Studies diterjemahkan
oleh Zakiyuddin Baidhawy dengan judul Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama Cet. I; Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi IV
Cet. I; Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Nasution,Harun . Islam Rasional
Bandung: LSAF, 1989.
Nata, Abuddin. Metodologi
Studi Islam Cet. IV; Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Permata, Ahmad Norma. (ed), Metodologi Studi Agama Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Pospito, Henro. Sosiologi Agama
Cet. XI Yogyakarta: Kamsius, 1994.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif Cet. IX; Bandung: Mizan, 1998.
Ridwan, M. Deden. (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan Antardisiplin Ilmu Cet. I; Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar Cet. XXXI; Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
[3]John M. Echols Hassan Shadily ,Kamus Inggris-Indonesia (Cet.
XXIII ,Jakarta
:PT Gramedia, 1996), h. 35
[6] Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar (Cet. XXXI Jakarta: Rajawali Pers 2001), h 21-2
[15] Noeng Muhadjir Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi IV,Cet I ,Yogyakarta: Rak Sarasin 2000) , h. 72
[16] Mastuhu ,“Penelitian Agama Islam: Tinjuan Disiplin Sosiologi”, dalam M. Deden Ridwan (ed.) Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Cet I Bandung: Penerbit Nuansa ,2001), .h 110
[18] Sarlito Wirawan Sarwono ,Psikologi Sosial Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (Cet I ,Jakarta: Balai Pustaka, 1999) , h. 129
[23]Lihat Devid Jary & Julia Jary ,The Harper Collins Dictionary Sociologis ( New York :Harper Collins Publisher ,1991), h. 249
[25] Ibid, h. 198.
[1]Kredo artinya pernyataan kepercayaan (keyakinan), lihat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet X Jakarta
Balai Pustaka 1999 h 530
[2]M. Amin Abdullah –Pengantar- dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi
Studi Agama Cet I Yogyakarta Pustaka Pelajar 2000 h 1
[3] Abuddin Nata Metodologi Studi Islam Cet IV Jakarta Rajawali
Pers, 2000 h 27
[4] Ibid
[5] H.M. Amin Abdullah -Kata Pengantar- dalam Richard C. Martin
Approaches to Islam in Religious Studies diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy
dengan judul Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama Cet I Surakarta
Muhammadiyah University Press 2001 h iv