Selasa, 12 Mei 2015

PSIKOLOGI PENDIDIKAN



Jurusan           : Pendidikan Agama Islam
Semester         : VI B

INTISARI PSIKOLOGI PENDIDIKAN


A.     Hakekat Psikologi Pendidikan.
B.      Kontribusi Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran.
C.      Hakekat dan Ragam Belajar.
D.      Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat dalam Pembinaan Anak.
E.      Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam Pembelajaran.
F.       Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya dalam Pembelajaran.
G.      Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran.
H.      Teori Belajar Konstruktivistik dan Implikasinya dalam  Pembelajaran

Oleh : 
NURUL FADILAH
122200040

FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG


KATA PENGANTAR

            Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Segala Puji bagi Allah SWT, limpahan syukur penulis atas kesempatan untuk terus hidup didunia ini hanya kepada-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan  ke zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu penulis dapat menyelesaikan “Intisari Psikologi Pendidikan ” ini.
Intisari ini tersusun dari kumpulan makalah sahabat-sahabat semester VI B tentang materi-materi psikologi pendidikan. Dalam beberapa bagian kata penulis memberi warna merah gelap, kumpulan kata berwarna merah gelap tersebut merupakan pokok pikiran yang penulis pilih dari tiap paragraf, hal ini ditujukan untuk mempermudah pembaca memahami isi dari tiap paragraf yang ada.
Terima Kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada orang tua yang masih memperhatikan penulis, keluarga yang terus memberikan bantuan moril dan materill untuk kelancaran studi masa ini, kepada Dosen Pembimbing, yang selalu memberikan kritik-kritik membangun demi terwujudnya penulis menjadi mahasiswa yang berguna, dan segenap teman seperjuangan yang menerima penulis ditengah-tengah mereka.
Harapan besar  penulis semoga karya ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa wawasan baru bagi penulis khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun penulis sangat harapkan.Terima kasih.

Wabillahi Taufik Wassa’adah.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
                    
                                                      
Sengkang, 1 Mei 2015
                                                                                                                                                Penulis


                                                                                                                                                Nurul Fadilah









DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................................... 3
A.           Hakekat Psikologi Pendidikan................................................................................................         4
B.           Kontribusi Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran....................................... ........ 4
C.          Hakekat dan Ragam Belajar................................................................................................... ........ 5
D.          Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat dalam Pembinaan Anak.................... ........ 6
E.           Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam Pembelajaran......................................... ........ 6
F.           Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya dalam Pembelajaran............................... ........ 8
G.          Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam  Pembelajaran................................. ........ 10
H.          Teori Belajar Konstruktivistik dan Implikasinya dalam  Pembelajaran.................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................................          14



A.       Hakekat Psikologi Pendidikan

Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Muhibin Syah (2002), pengertian Psikologi Pendidikan adalah sebuah disiplin psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan.Psikologi pendidikan merupakan penerapan prinsip dan metode psikologi untuk mengkaji perkembangan, belajar, motivasi, pembelajaran, penilaian, dan isu-isu terkait lainnya yang mempengaruhi interaksi belajar mengajar[1].

B.       Kontribusi Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran

Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru dalam bidang pembelajaran dengan melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :
1.       Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
 Guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
2.       Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3.       Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4.       Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5.       Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6.       Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7.       Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

C.       Hakekat dan Ragam Belajar

1.        Hakekat Belajar

 Hakekat belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan secara sadar dan terus menerus melalui bermacam-macam aktivitas dan pengalaman guna memperoleh pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku yang lebih baik. Perubahan tersebut bisa ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan dalam hal pemahaman, pengetahuan, perubahan sikap, tingkah laku dan daya penerimaan. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan untuk mendapatkan suatu perubahan yang baru sebagai akibat pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Hubungan belajar dengan perubahan tingkah laku terhadap suatu situasi tertentu yang berulang-ulang dalam situasi belajar. Dari pengertian tersebut maka dapat diartikan hakekat belajar adalah perubahan dan meningkatnya kualitas tingkah laku seseorang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus.[2]  Secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian itu perlu diutarakan sekali lagi bahwa perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.[3]
2.       Ragam - Ragam Belajar
Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga bermacam – macam.
a.       Ragam abstrak ialah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata.
b.       Ragam keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik  yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olahraga, music, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah sholat dan haji.
c.        Ragam social  adalah belajar memahami masalah-masalah dan tehnik-tehnik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti dalam masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan.
d.       Ragam pemecahan masalah adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan koknitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan.
e.       Ragam rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan sistematis (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan rational problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis dan sistematis (Reber, 1998).
f.         Ragam kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri tauladan dan pemgalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
g.       Ragam apresiasi belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nialai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi music, dan sebagainya.
h.       Ragam pengetahuan ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1988). Tujuan belajar pengetahuan adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.[4]

D.       Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat dalam Pembinaan Anak

  1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan.Dalam hal ini, orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkankembangkan fitrah beragama anak.Menurut Hurlock (1956: 434), keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai. Pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, segoyinya bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya, yaitu sejak lahir bahkan lebih bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini didasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ternyata, mereka itu dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orangtua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
2.       Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembangan sesuai dengan potensinya.Menurut Hurlock (1959: 561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah  merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orangtua.Dalam kaitannya dengan upaya mengembangan fitrah beragama para siswa, maka sekolah, terutama dalam hal ini guru agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia dan sikap apresiatif terhadap ajaran agama.
3.       Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial bepengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya.[5]
Dalam membina anak ketiga hal diatas harus bersinergi dengan baik dan berkolaborasi secara rukun agar anak terbina menjadi insan yang berdayaguna baik bagi sesamanya maupun bagi  dirinya sendiri.

E.       Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam Pembelajaran

1.       Karakteristik individual
Karakteristik individual adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada individu sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan.[6]
Keberagaman karakteristik yang dimiliki siswa menjadi faktor pendukung dan sekaligus menjadi penghambat dalam kegiatan belajar mengajar.
a.        Karakteristik Biologis
Khodijah (2011:182): Aspek biologis yang terkait langsung dengan penerimaan pelajaran di kelas adalah kesehatan mata dan telinga. Anak didik yang memiliki masalah tertentu dalam penglihatan dan pendengarannya akan mengalami masalah tersendiri dalam menerima pelajaran. Dalam hal ini, bila kondisi faktor-faktor lain adalah sama, maka anak yang sehat fisiknya secara menyeluruh akan lebih berpeluang untuk mencapai prestasi yang maksimal.Kesehatan fisik anak didik perlu mendapat perhatian serius dari guru. Tidak semua siswa mengikuti pembelajaran dengan kondisi fisik yang baik. Kondisi fisik kurang sehat akan mengganggu siswa belajar.
b.        Karakteristik Psikologis
Khodijah (2011:183): ”Perbedaan psikologis pada siswa mencakup perbedaan dalam minat, motivasi, dan kepribadian.”Perbedaan siswa dalam hal minat, motivasi, dan kepribadian akan selalu ditemui pada sekelompok siswa. Tidak semua siswa mengikuti pelajaran dengan minat yang tinggi terhadap mata pelajaran. Ada siswa yang dengan setengah hati mengikuti pelajaran. Demikian pula dengan perbedaan motivasi, ada siswa yang memiliki motivasi tinggi sehingga sangat aktif mengikuti pelajaran, sedangkan yang lainnya mungkin setengah termotivasi atau bahkan tidak termotivasi untuk belajar. Kepribadian siswa juga berbeda, ada siswa yang terbuka sehingga mudah bergaul dan mempunyai banyak teman, tetapi adapula siswa yang tertutup sehingga sulit bergaul dan terkesan tidak mempunyai teman karena sering menyendiri.
c.         Karakteristik Intelegensi
Khodijah (2011:101):  ”Intelegensi adalah kemampuan potensial umum untuk belajar dan bertahan hidup, yang dicirikan dengan kemampuan untuk belajar, kemampuan untuk berpikir abstrak, dan kemampuan memecahkan masalah”.Setiap anak memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menambah keunikan dalam suatu kelas pembelajaran. Ada siswa yang dengan cepat mampu menyerap materi pembelajaran dan ada siswa yang lamban menyerapnya. Ada siswa yang mampu dengan cepat menyelesaikan soal ujian atau tugas, dan ada siswa membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan satu tugas saja.
d.        Karakteristik Bakat
Bingham dalam (Khodijah 2011:185-186) mendefinisikan bakat: As a condition or set of charateristics regarded as symptomatic of an individual’s ability to acquire with training some (usually specified) knowledge, skill, or set of responses such as the ability to speak a language, to produce mucic, ...etc. (sebagai sebuah kondisi atau rangkaian karakteristik yang dianggap sebagai gejala kemampuan seorang individu untuk memperoleh melalui latihan sebagian pengetahuan, keterampilan, atau serangkaian respon seperti kemampuan berbahasa, kemampuan musik, ... dan sebagainya).Siswa yang belajar sesuai dengan bakatnya akan lebih mudah menerima dan menguasai materi pembelajaran jika dibandingkan dengan siswa yang tidak berbakat dalam mata pelajaran tertentu. Walaupun siswa yang tidak berbakat juga sangat dimungkinkan untuk menerima materi pembelajaran dengan lebih baik. 
e.        Karakteristik Lainnya
Khodijah (2011:187): ”Perbedaan individual lain yang banyak diteliti oleh para ahli adalah perbedaan jenis kelamin, perbedaan etnis, dan perbedaan kondisi sosial ekonomi”.Siswa laki-laki dan siswa perempuan berbeda karakteristiknya. Secara umum, siswa perempuan akan lebih rajin daripada siswa perempuan. Kondisi sosial ekonomi orangtua siswa sangat beragama, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kelompok sosial ekonomi bawah, kelompok sosial ekonomi sedang, dan kelompok sosial ekonomi atas. Mayoritas siswa berasal dari kelompok sosial ekonomi sedang.[7]

2.       Perbedaan Individual dalam Pembelajaran.

Setiap anak adalah unik. Ketika kita memperhatikan anak-anak di dalam ruang kelas, kita akan melihat perbedaan individual yang sangat banyak. Bahkan anak latar belakang usia hampir sama, akan memperlihatkan penampilan, kemampuan temperamen, minat dan sikap yang sangat beragam.Dalam kajian psikologi, masalah individu mendapat perhatian yang besar, sehingga melahirkan suatu cabang psikologi yang dikenal dengan Individual Psychology, atau differential Psychology, yang memberikan perhatian besar terhadap penelitian tentang perbedaan antar individu. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada dua orang yang persis sama. Bahkan anak kembar sekali pun masih ditemukan adanya beberapa dimensi perbedaan di antara keduanya. Dalam tinjauan psikologi Islam, perbedaan individual tersebut dipandang sebagai realitas kehidupan manusia yang sengaja diciptakan Allah untuk dijadikan bukti kebesaran dan kesempurnaan ciptaan-Nya.[8] Berikut adalah beberapa perbedaan pada individu.
a. Perbedaan Kognitif
Menurut Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar  sekolah menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taxonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan  teknologi. Pada dasarnya kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Hasil belajar dalam hal ini merupakan perpaduan antara pembawaan dengan pengaruh lingkungan. Proses pembelajaran adalah upaya menciptakan lingkungan yang bernilai positif, diatur dan direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang dimiliki oleh anak.
b. Perbedaan dalam Kecakapan Bahasa
Bahasa adalah salah satu kemampuan individu yang penting sekali dalam kehidupannya. Kemampuam berbahasa merupakan kemampuan individu untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang bermakna, logis, dan sistematis. Kemampuan berbahasa setiap individu berbeda. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan termasuk faktor fisik (organ untuk bicara).
c.  Perbedaan dalam Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik atau kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja syaraf motorik yang dilakukan oleh syaraf pusat (otak) untuk melakukan kegiatan. Kegiatan ini terjadi karena kegiatan kerja syaraf yang sistematis. Alat indra menerima rangsangan, rangsangan tersebut diteruskan melalui syaraf sensoris ke syaraf pusat (otak) untuk diolah, dan hasilnya dibawa oleh syaraf motorik untuk memberikan reaksi dalam bentuk gerakan- gerakan  atau kegiatan.
d. Perbedaan dalam Latar Belakang
 Latar belakang individu dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dari dalam misalnya, kecerdasan, kemauan, bakat, minat, emosi, perhatian, kebiasaan bekerja sama, dan kesehatan yang mendukung belajar.  Anak-anak juga berbeda diapandang dari segi latar belakang budaya dan etnis. Motivasi untuk belajar berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Perbedaan latar belakang, yang meliputi perbedaan sisio-ekonomi sosio cultural, amat penting artinya bagi perkembangan anak. Akibatnya anak-anak pada umur yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang lebih luas.
e. Perbedaan dalam Bakat
Bakat adalah kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Bakat dapat juga diartikan sebagai kemampuan dasar yang menentukan sejauh mana keberhasilan seseorang untuk memperoleh keahlian atau pengetahuan tertentu bilamana seseorang diberi latihan-latihan tertentu. Misalnya seseorang yang mempunyai bakat numerical yang baik, bila diberi latihan-latihan akuntansi keuangan, akan mudah untuk menguasai masalah akuntansi, begitu pula sebaliknya.[9]

F.       Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya dalam Pembelajaran (Stimulus Respon)

1.       Teori Belajar Behavioristik
Merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan stimulus-respons. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya.  Dalam teori Behavioristik, yang terpenting itu adalah masukan atau input yang berupa stimulus serta output yang berupa respon. Apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidaklah penting karena tidak dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran sebab dengan pengukuran kita akan melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini adalah penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat respon.  
2.       Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik
a.       Kelebihan Teori Behavioristik. 
ü  Murid terbiasa belajar mandiri.  
ü  Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan.
ü  Mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa.
ü  Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. 
ü  Cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
b.       Kekurangan Teori Behavioristik 
ü  Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
ü  Hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa. 
ü  Cenderung mengarahkan siswa sebagai individu yang pasif.
ü  Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered)
ü  Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.

3.       Implikasi Teori Behavioristik dalam pembelajaran
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
 Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.[10]



G.       Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran(Memanusiakan manusia)

1.       Konsep Teori Belajar Humanisme

Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56).
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56 ) Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para  pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).

  1. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme

a.       Athur W. Combs (1912-1999)
                Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.  (Herpratiwi, 2009: 45). Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berfikir tentang dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam pembelajaran menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik. Karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil (Herpratiwi, 2009: 45). Hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
  1. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58). Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi lima hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa terpenuhi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).  Artinya, jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa nyaman, mereka akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk memiliki dan untuk dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri”[11].
Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow sebagai berikut.
1)       Kebutuhan fisiologis/ dasar.
2)       Kebutuhan akan rasa  aman dan tentram.
3)       Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
4)       Kebutuhan untuk dihargai.
5)       Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).
c.        Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi, 2009: 49). Peranan guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam :
1)       Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar,
2)       Membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar
3)       Membantu peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar
4)       Menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan
5)       Menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana adanya. (Hadis, 2006: 72)
Rogerss membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,  evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.   

  1. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme

a.     Kelebihan teori belajar humanisme
  • Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
  • Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
  • Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
b.     Kelemahan teori belajar humanisme
  • Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif.  
  • Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri,
  • Peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).

  1. Implikasi Teori Belajar Humanistik

Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Hal yang menjadi Ilmu pengetahuan merupakan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud dalam hal ini adalah serangkaian proses pembelajaran yang didalamnya terdapat nilai-nilai humanisme dan telah dilalui oleh peserta didik. Adapun peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik  ,  guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya, Oleh sebab itu, Guru memandang segala perbuatan siswa dalam pembelajaran dianggap baik.

H.       Teori Belajar Konstruktvistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran (Asimilasi Akomodasi)

  1. Teori Belajar Konstruktivisme

Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi bahwa “ Konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
Kenyataan menunjukkan bahwa seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapatkan siswa-siswanya mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya, padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja di transfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara berbeda-beda oleh siswa. Pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah membawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka.

  1. Macam-Macam Konstruktivisme

a.       Teori Konstuktivistik Kognitif dari Jean Piaget (Psikologis Personal)
Seorang individu sejak bayi telah mengeksplorasi lingkungannya untuk mendapatkan pengetahuan. Keterampilan ini membentuk skema, yaitu suatu bentuk pemahaman terhadap objek yang digunakan individu untuk mengenali pengetahuan yang akan dipelajari kemudian. Tujuan pengembangan skema ialah untuk memeroleh keseimbangan. Keseimbangan dalam arti individu mampu memahami dan berinteraksi secara adaptif dan efektif dengan lingkungan. Saat individu mengalami hal baru, timbul ketidakseimbangan. Hal ini menuntut individu mengembangkan mekanisme asimilasi dan akomodasi. Asimiliasi yaitu penyesuaian pengetahuan baru dengan skema yang sudah ada. Sebaliknya akomodasi merupakan penyesuaian skema terhadap pengetahuan yang baru. disebut sebagai skema. Menurut Piaget, mekanisme adaptasi dengan pola akomodasi dan asimilasi merupakan tahapan yang sejalan dengan tahapan perkembangan fisik (dan kemampuan kognitif) anak. Dari sinilah teori Piaget dijadikan sebagai teori perkembangan kognitif yang berkontribusi pula bagi teori-teori kecerdasan dalam bidang psikologi.

b.     Teori Konstruktivisme Sosial dari Lev Vigotsky (Psikologis Sosial)

Lev Vigotsky adalah seorang psikolog Rusia yang menekankan pada konteks social dalam proses belajar. Konteks sosial budaya merupakan alat berpikir (the cognitive tools) yang diperlukan bagi perkembangan individu. Alat atau sarana berpikir ini meliputi peran orang tua, guru, bahasa (termasuk sarana informasi melalui media elektronika) sebagai sumber belajar. Keterlibatan individu dalam interaksi sosial dengan orang lain merupakan proses pengonstruksian pengetahuan. Individu akan berkembang fungsi alat berpikirnya (tool of the mind) melalui interaksi dengan kehidupan sosial dan kelompoknya. Keterkaitan alat berpikir dan peran lingkungan dikemukakan oleh Vigotsky melalui kegunaan alat berpikir, yaitu:
1)       Membantu memecahkan masalah.
2)       Memerluas kemampuan.
3)       Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alami.

  1. Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik

Proses belajar dengan pendekatan konstruktivistik memercayai bahwa proses berpikir berlokasi (berada dalam situasi) sosial dan fisik. Menurut Piaget, anak akan belajar dengan baik bila anak secara aktif mencari solusi dari persoalan yang dihadapinya. Melalui proses penemuan, refleksi dan membagikan pengetahuan baru tersebut melalui diskusi bersama teman sekelompoknya. Vigotsky berasumsi bahwa pembelajaran kolaboratif akan menyediakan lingkungan belajar yang akan membantu optimalisasi belajar. Unsur filosofi dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan individu. Keberagaman yang dimaksud yaitu individu menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pembelajaran konstruktivistik yang menekankan pada keaktifan siswa menuntut guru untuk berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran. 
Ø  Teori konstruktivisme memiliki implikasi penting dalam pembelajaran. Menurut Hoover ada empat implikasi, diantaranya;
a.       Guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dan mengevaluasi tingkat pemahaman melalui pengetahuan yang dimiliki oleh siswa saat ini.
b.       Guru harus menyadari pengalaman siswa bisa berbeda dengan pengetahuan yang saat ini dipelajari.
c.        Siswa mengaplikasikan pemahaman yang ada untuk memahami situasi yang baru. Guru harus bisa yakin bahwa pengalaman belajar yang diberikan sesuai dan penting bagi siswa (bukan bagi guru).
d.       Pengetahuan baru yang dibangun secara aktif memerlukan waktu untuk memahami, jika pemahaman berbeda, bagaimana siswa dapat memerbaiki cara pandangnya.




DAFTAR PUSTAKA



Muhibbin Syah.1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendeketan Baru   .Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Muhibbin Syah. 2013. Psikologi Belajar .Jakarta : Rajawali Pres.
Syamsul Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.
Desmita.2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik .Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sumber lainnya
Hamdi Abdillah dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  (Analisis Ilmu Pendidikan)pdf.  El-Ghazy, Vol. I, No. 1, Agustus 2012  )PDF.
 http://pgmistain.blogspot.com/2012/06/hakikat-psikologi-pendidikan.html.
 http://seputarpendidikan003.blogspot.com/2013/07/hakekat-belajar.diakses 8 Maret 2015)
Areknuret, karakteristik dan perbedaan individu (htpp://areknuret.wordpress.com/2012/03karakteristik-dan-perbedaan-individu. diakses 13 Maret 2015
Mufaesa, karakteristiksiswadanhubungannya (htpp://www.mufaesa.blogspot.com/2012/03karakteristik-siswa-dan-hubungannya.html. diakses 13 Maret 2015)



[1] http://pgmistain.blogspot.com/2012/06/hakikat-psikologi-pendidikan.html.
 [2] http://seputarpendidikan003.blogspot.com/2013/07/hakekat-belajar.diakses 8 Maret 2015).
 [3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendeketan Baru  (PT.Rosda, Bandung : 1995), h. 90-92.
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta : Rajawali Pres, 2013), h. 125-129.
[5] Syamsul Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Bandung: PT Rosda Karya Remaja. 2003), h. 138-141.
[6] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), h. 56
[7]Mufaesa, karakteristiksiswadanhubungannya (htpp://www.mufaesa.blogspot.com/2012/03karakteristik-siswa-dan-hubungannya.html. diakses 13 Maret 2015)
[8] Ibid, h. 51.
[9] Areknuret, karakteristik dan perbedaan individu (htpp://areknuret.wordpress.com/2012/03karakteristik-dan-perbedaan-individu. diakses 13 Maret 2015)

[10] https://sukronfirudin52.wordpress.com/2014/06/03/makalah-psikologi-pendidikan-teori-teori-belajar-dan-implikasinya-dalam-kelas/

[11] Hamdi Abdillah dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  (Analisis Ilmu Pendidikan)pdf.  El-Ghazy, Vol. I, No. 1, Agustus 2012  )h.21