TERORISME
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata pengantar.......................................................................................................... …………......…i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................................... ……….ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.LatarBelakang……………………………………………………………………........... 1
B . Rumusan
Masalah……………………………………………………............................1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Defenisi Terorisme………………………………………………...................................2
B.Terorisme
di Dunia………………………………………………….................................2
C.Pemberantasan Terorisme di
Indonesia…………………………………………………..3
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................................................................9
B.Saran-Saran………………………………………………………………………………………..9
Daftar
Pustaka……………………………………………………………………………………….10
Kata Pengantar
BISMILLARRAHMANIRRAHIM
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr.wb
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan
atas kehadirat ALLAH SWT,Atas rahmat
dan hidayahnyalah
sehingga makalah “KEWIRAAN” kami ini bisa terselesaiakan,begitu pula tak lupa
kita kirimkan salawat serta salam kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW.
Dan tak lupa juga kami ucapan banyak-banyak terimah kasih kepada sahabat
mahasiswa mahasiswi terkhusus dari
Kelompok II karna atas dukungannya dan kerja samanya sehingga makalah ini bisa
terselesaikan dan terlebih lagi kepada gurunda Pembinah MK. Kewiraan atas
motivasi dan dukungannya sehingga kami dapat menyusun makalah ini,walaupun kami
sadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan di dalamnya oleh karena itu
kami harap masukan kritik yang membangun kepada sahabat-sahabat dan kepada
gurunda pembinah sehingga pembuatan makalah berikutnya bisa menjadi lebih
baik,terimah kasih
Wallahu muafiq ila
Aqaumittariq,
Assalamu alaikum wr.wb
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Melihat keadaan sekarang, banyaknya
kelompok-kelompok yang di sebut Terorisme yang mengatasnamakan dirinya sebagai
pejuang, penjihat dan bahkan banyak di antaranya mengatasnamakan dirinya
sebagai orang islam, sehingga mencoreng nama baik ummat islam yang pada saat
ini menjadi perbincangan besar-besaran dalam masyarakat dan menjadi suatu
permasalahan besar dalam masyarakat karena dapat mengancam jiwa sehingga
masyarakat merasa kurang aman, bahkan pada saat ini terorisme sudah mendunia.
B. Rumusan Masalah
Melihat dari latar belakang yang di
angkat di atas maka kami ambil rumusan Masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana tanggapan secara
internasional mengenai persoalan
terorisme yang sudah mendunia ?
2.
Bagaimana tindakan
pemerintah Indonesia, untuk menyelamatkan Indonesia dari terorisme ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi
Terorisme
Terorisme adalah: serangan –serangan
terkordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror terhadap sekolompok
masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk terhadap
tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan, yang selalu tiba-tiba dan target
korban jiwa yang acak dan sering kali merupakan warga sipil, tetapi banyak
defenisi tentang terorisme yang di ungkapkan oleh banyak ahli, seperti istilah
teroris yang diungkapkan oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk
kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal
atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperi
kemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karna itu para pelakunya
layak mendapat pembalasan yang kejam. Para teroris pada umumnya menyebut diri
mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan,
mujahidin, dan teroris juga biasa mengatas namakan agama.
Pengertian terorisme tercantum juga dalam
pasal 14 ayat 1 The prenvition of terorrorism ( temporary provisions) act,
1984, sebagai berikut: “terrorism means the use of violence for political
ands and includes any use of violence for the porpuse putting the public or any
section of the public in fear.” Kegiatan terorisme mepunyai tujuan membuat
orang lain ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teroris di gunakan apabila tidak
ada jalan lain yang dapat di temouh untuk melaksanakan kehendaknya. Teroris
digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panic, tidak
menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku terror. Terorisme tidak di tujukan langsung kepada lawan, akan
tetapi perbuatan terror justru di lakukan di mana saja dan terhadap
siapa saja. Daan yang lebih utama, maksud yang ingin di sampaikan oleh pelaku
terror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau
dapat di katakan lebih sebagai psy-war
Sejauh ini belum ada batasan yang berlaku
untuk mendefinisikan apa yang di maksud dengan terorisme, bahkan Amerika sendiri
yang pertama kali meneklarasikan “perang melawan terorisme” , belum memberikan
definisi yang jelas[1] Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni,
ahli hukum pidana internasional, bahwa tidak memuda untuk mengadakan suatu
pengertian yang identik yang dapat di terima secara universal sehaingga sulit
mengadakan pengawasan atas maksa terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof.
Brian Jenkins,Phd., terorisme merupakan pandanga yang sukjektif, hal
mana di dasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi
tertentu.
B. Terorisme
di Dunia
Terorisme di dunia bukanlah merupakan
hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya pertiwa World Trade center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, di kenal sebagai “September
Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan di lakukan melalui ibadah , tidak
menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika
Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak,dua di antaranya
di tabrakkan kemenara kembar Twin Tores
World Trade Centre dan gedung pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampukan
gedung Worid Trade Center dan pemagon
sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu , yang menjadi
korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang
pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh , terbakar, meninggal, dan
tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang
terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut dana yatim piatu twin
towers, di perkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di pentagon,
Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas
dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris
mengira bahwa penyerangan terhadap “Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka
serang tak lain merupakan insutusi internasional yang melambangkan kemakmuran
ekonomi dunia. Di dana terdapat berbagai perwakilan dari perwakilan Negara,
yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya dia tidak saja
menyerang amerika serikat tapi juga dunia. Amerika serikat menduga Oama bin
laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kajadian ini merupakan isu global yang
mempengaruhi kebijakan politik Negara-negara di dinua, sehingga menjadi titik
tolak persepsi untuk menyerangi terorisme sebagai musuh internasional.
Pembunuhan massal telah mempersatukan dunia melawan terorisme internasional.
Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya tragedy bali, 12 oktober 2002 yang
merupakan tindakan terror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu
menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Hal itulah yang antara lain mendasari
penempatan terorisme sebagai kejahatan
yang tergolong istimewa/luar biasa” (extra ordinary crime). Penempatan demikian
ini logis , mengingat terrorisme dilakukan oleh penjahat-penjahat yang
tergolong prefesional, produk rekayasa dan pembuktian kemampuan intelektual,
terorganisir, dan didukung dana tidak sedikit[2] ,
maka tidak salah kalau seluruh dunia bersatu memerangi tindak terorisme yang sudah mendunia yang dipimpin
oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan
Tony blair termasuk yang pertama mengeluarkan anti terrorism, crime and security Act, Desember 2001, diikuti
tindakan-tindakan dari Negara-negara lain yang pada intinya yang melakukan
perang atas tindak terorisme di dunia, seperti Filiphina dengan mengeluarkan Anti Terorism Bill.
C. Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Terorisme di Indonesia merupakan terorisme
yang dilakukan oleh kelompok militan jemaah islamiyah yang berhubungan dengan
al-Qaeda ataupun kelompok militan yang menggunakan ideology serupa dengan
mereka dan menganggap diri mereka dengan jihad, pada sejak tahun 2002, bebebrapa
target Negara barat telah di serang. Korban yang jatuh adalah turis barat dan
juga penduduk Indonesia.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian
yang di timbulkan oleh suatu tindakan terorisme, serta dampak yang di rasakan
secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat oleh teragedi Bali, merupakan
kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas tindakan pidana teorisme
itu dengan memidana pelaku dan actor intelektual di balik peristiwa itu. Hal
ini menjadi peroriotas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,
diperlukan perangkat hukum yang mengatur tindak pidana terorisme . Menyadari
hal ini dan lebih di dasarkan peraturan yang ada pada saat ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak
cukup memadai untuk memberantas tindak pidana Terorisme, pemerintah Indonesia
merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantsan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(PERPU) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi
Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantsan tindak pidana
terorisme. Keberadaan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme di
samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentagn Hukum acara pidana
(KUHAP), merupakan Hukum Pudana Khusus. Hal ini memang di mungkinkan, mengingat
bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1.
Adanya proses kiminalisasi atas suatu perbuatan
tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi
perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya bukan tindak pidana,
karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk tindak
Pidana dan diatur dalam suatu perundang Undangan Hukum Pidana.
2.
Undang-Undang yang ada di
anggap tiak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi
dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan Undang-Undang yagn telah ada
dianggap memakan banyak waktu.
3.
Suatu keadaan yang mendesak
sehingga dianggap perlu di ciptakan suatu peraturan khusus untuk segera
menanganinya.
4.
Adanya suatu perbuatan
khusus di mana apabila di pergunakan proses yang di atur dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti
undang-undang Nomor 15 tahun 2003mengatur secara materil dan formil sekaligus,
sehingga dapat pengucualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/ Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) “lex specialis derogate lex
generalis”. Keberlakuan lex specialis
derogate lex generalis, harus memenuhi kreteria
1.
Bahwa pengecualian terhadap
undang-undang yang bersifat umum, di lakukan oleh peraturan yang setingkat
dengan dirinya, yaitu undang-undang
2.
Bahwa pengecualian
termaksud di nyatakan dalam undang-undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian
dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan pelaksanaan undang-undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana
Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui
banyak cara, seperti:
1.
Melalui system evolusi
berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2.
Melalui system global
pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kehususan hukum acaranya.
3.
Sistem kompromi dalam
bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tengtang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan
adanya hal yang khusus dalam kejahatan
terhadap keamanan Negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih
atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah
melakukan kejahatan terhadap keamanan Negara. Akan tetapi penyimpanan tersebut
adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan
Negara yang harus di lindungi. Demikian pula susuna bab-bab yang ada dalam
peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain
ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
meyebutkan
bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum pidana khusus, bukan hanya
mengatur hukum materielnya saja, tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu
harus di perhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan
asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUHP) bagi hukum pidana materielnya
sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukm acara pidana.
Sebagaimana hukum tersebut di atas,
maka pengaturan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana terorisme,
hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Artinya pelaksanaan undang-undang khusus
ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara
Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa
pasal dalam undang-undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum hukum
pidana danhukum acara pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi
Manusia, apbila dibandimgkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus di
cari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu
berkaitan erat dengan Hak Asai Manusia. Atau mingkin karena sifatnya sebagai
undang-unadang yang khusus, mka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini,
melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun
dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
dalam undang-undang khusus tersebut.
Sesuai peraturan undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana,
penyelesaian suatu perkara tindak pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di
pengadilan, dimulai dari penyelidikan, di ikuti dengan penyerahan berkas
penuntutan kepada jaksa penuntut umum. Pasal 17 kitab undang-undang hukum acara
pidana menyebutkan bahwa perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap
seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian bukti permulaan itu sendiri,
hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam kitab
undang-undang hukum acara pidana yang menjadi dasar pelaksanaan hukum pidana.
Masih terdapat perbedaan pendapat di antara penegak hukum. Sedangkan mengenai
bukti permulaan dalam penagturannya pada undang-undang nomor 15 tahun 2003
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pasal 26 berbunyi[3]
1.
Untuk memperoleh bukti
permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan inteliejen.
2.
Penetapan bahwa sudah dapat
atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagai mana yang dimaksud dalam ayat
(1) harus di lakukan peruses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua Pengadilan
Negri.
3.
Peroses pemerikasaan sebagai
mana yang dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu
paling lama 3 hari
4.
Jika dalam pemerikasaan
sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan
yang cukup , maka ketua pengadilan negri segera diperintahkan dilaksanakan
penyidikan.
Pemasalahanya adalah masih terdapat
kesimpang siuran tentang pengertian bukti permulaan itu sendiri , sehingga
sulit menentukan apakah yang dapat diketegorikan sebagai bukti permulaan,
termasuk pula laporan intelijen, apakah dapat dijadikan bukti permulaan.
Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2,3 dan 4 undang-undang nomor 15 tahun 2003
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, penetapan suatu laporan
intelijen sebagai bukti permulan dilakukan oleh ketua/wakil ketua pengadialn
negeri melalui suatu poroses/mekanisme pemeriksaan (hearing) secara tertutup.
Hal itu mengakibatkan pihak intelijen
mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseoraang
yang dianggap melakukan tindak pidana terorisme, tanpa adanya pengawasan
masyarakat atau pihak manapun, padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan
terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap
hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu
gugat, oleh karena itu, untuk mencegah kesewena-wenagan dan ketidakpastian
hukum , diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian bukti
permulaan dan batasan mengenai laporan intelijen, apa saja yang dapat
dimasukkan dalam ketegori laporan intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat
laporan intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai bukti permulaan. Terutama
ketentuan pasal 26 ayat 1 tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada
penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan secara
sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik[4].
Demikian pula perlu dirumuskan tentang
pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam
melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahannya itu dan
hak asasinya telah terlanggar, karena banyak pemerintah suatu Negara dalam
melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu
pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap
telah jauh melanggar bukan saja hak seorang terdakwa, akan tetapi juga hak
asasi manusia. Aturan darurat demikian itu telah memberikan wewenag yang
berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan
terror.
Telah banyak Negara-negara didunia yang
mengorbankan hak asasi manusia demi pemberlakuan undang-undang anti terorisme, termasuk
hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable
rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan
apapun. Undang- Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak Negara untuk
mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap perinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty internasional
menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam peroses interogasi terhadap orang
yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus
dihindari , karena tindak pidana terorisme harus diberantas karena alasan hak
asasi manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan
mengidahkan hak asasi manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara
nasional harus ada undang-undang yang mengatur soal terorisme. Tapi dengan
definisi yang jelas , tidak boleh justru melawan hak asasi manusia. Melawan
terorisme harus ditunjukkan bagi perlindungan hak asasi manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan hak asasi manusia. dan yang penting juga
bagaiman ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalagunaan kekuasaan.
Adapun daftar terorisme yang telah
terjadi di Indonesia dan instansi di luar negeri:
v Tahun1981
-Garuda
Indonesia penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai garuda
Indonesia dari Palembang ke Medan, dalam penerbangan pesawat tersebut dibajak 5
orang teroris yang menyamar sebagai penumpang.
v Tahun
1985
-Bom
candi Borobudur, 21 Januari 1985, peristiwa terrorisme ini bermotif jihad.
v Tahun
2000
-Bom
kedubes Filipina, Meneteng Jakarta pusat . 2 orang tewas, 21 luka-luka termasuk
duta besar Filipina Leonides T Caday pada waktu itu
-Bom
kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan besar
Malaysia di kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa
-Bomn
Bursa Efek Jakarta, 13 Desember 2000, ledakan mengguncang lantai parker P2
gedung bursa efek Jakarta. 10 orang tewas,90 luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57
rusak ringan.
-Bom
malam Natal, 24 Desember 2000.
v Tahun
2001
-Bom
Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 JULI 2001. Di kawasan Kalimang, Jakarta Timur.
-Bom
plaza atrium senen Jakarta, 23 September 2001
-Bom
restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001
-Bom
sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001
v Tahun
2002
-Bom
tahun baru, Bulungan Jakarta, 1 januari 2002
-Bom
Bali, 12 OKTOBER 2002
-Bom
restoran McDonal’s, Makassar, 5 Desember 2002
v Tahu
2003
-Bom
kompleks mabes polri, Jakarta, 3 Februari 2003
-Bom
bendara Soekarni-Hatta, Jakarta, 27 April 2003
-Bom
JW Marriott, 5 Agustus 2003
v Tahun
2004
-Bom
palopo, 10 Januari 2004
-Bom
kadubes Australia, 9 September 2004
-Bom
di gereja Immanuel,Palu, Sulawesi tengah, 12 Desember 2004
v Tahun
2005
-Dua
bom meledak di Ambon, 21 Maret 2005
-Bom
Tentena, 28 Mei 2005
-Bom
Pamulang, Tangeran, 8 juni 2005
-Bom
bali, 1 Oktober 2005
-Bom
pasar Palu, 31 Dsember 2005
v Tahun
2009
-Bom
Jakarta, 17 juli 2009
v Tahun
2010
-Penembakan
warga sipil, Aceh, Januari 2010
-Perampokan
Bank CIMB Niaga, September 2010
v Tahun
2011
-Bom
Cirebon, 15 April 2011
-Bom
gading serpong, 22 April 2011
-Bom
Solo, 25 Desember 2011
v Tahun
2012
-Bom
Solo, 19 Agustus 2012
[1] Dalam Drs. Adul wahid, SH.
Kejahatan Terorisme. Hlm 21
[2] Dalam Drs. Adul wahid, SH.
Kejahatan Terorisme. Hlm 59
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Aksi terorisme sudah mendunia, dan
banyak menyesahkan masyarakat, sehingga dibentuk pemberantasan terorisme secara
Internasional atau dikenal dengan “Perang terhadap terorisme”.
B. Saran-Saran
Dengan terbentuknya makalah kami ini,
yang berjudul terorisme, kami sadari masih terdapat berbagai kekurangan di
dalamnya, maka oleh karena itu kami harap masukan atau keritik yang membangun
dari si pembaca, sehingga pembuatan
makalah berikutnya bisa menjadi lebih baik, terimah kasih
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wahid, Abdul, Drs, dkk. 2004. Kejahatan Terorisme.
Bandung; Refika
Aditana
2.
Undang-Undang RI no 1. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
3.
Undang-Undang RI no 15. 2003. Pemerantasan Tindak Pidana Terorisme
4.
Peraturan Pemerintah RI no 24. 2003. Tata Cara Perlindungan Terhadap
saksi Penyidik