BAB I
BAHASA INDONESIA DALAM SUATU TINJAUAN TEORITIS
1.1 Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Seminar
politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan pada Februari 1975, memutuskan
kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai berikut:
a)
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional.
b)
Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional.
c)
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat yang memungkinkan penyatuan berbagai
masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasa.
d) Bahasa
Indonesia berfungsi sebagai alat penghubung antar daerah dan antar budaya.
1.2 Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Sedangkan
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara memiliki fungsi sebagai berikut:
a)
Bahasa resmi kenegaraan.
b)
Bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan.
c) Alat
penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintahan.
d) Alat
pengembangan kebudayaan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.3 Ragam Bahasa Indonesia
a) Ragam Daerah atau Ragam Dialek
Ragam
patokan daerah, lazim dikenal dengan dialek/logat. Ragam ini digunakan
sekelompok masyarakat dari suatu wilayah atau daerah tertentu. Misalnya dialek
Medan, Jawa, Sunda, dan Aceh.
b) Ragam Sosiolek
Ragam
sosiolek adalah ragam bahasa yang mencerminkan pribadi sosial pengguna bahasa.
Seorang yang berpendidikan tinggi tentu berbeda ragam dalam pemakaian bahasa
dengan orang yang berpendidikan rendah. Begitu juga jika kita membandingkan
bahasa yang digunakan oleh para pekerja pelabuhan dan calo di terminal. Bahasa
yang digunakan oleh cerdik pandai umumnya lebih bagus dan piawai. Mereka yang
pernah mengecap pendidikan dapat membedakan pengucapan kata-kata seperti:
folio, film, apotek, dan fitnah. Mereka dapat menganalisis kebenaran sesuai
dengan konteks kalimat atau kebakuan kata. Folio sebagai jenis kertas atau
polio yang merupakan jenis penyakit sesuai dengan konteks kalimat yang
diinginkan. Demikian juga kata film adalah jenis kata yang baku bukan filem.
Begitu juga kata apotek, termasuk kata baku, karena toko obat disebut sebagai
apoteker bukan apotiker. Sedangkan mereka yang tidak pernah belajar bahasa akan
semena-mena mengucapkan kata-kata seperti: pilem/pilm, pitnah dan lain-lain
(Yamilah dan Samsoerizal, 1994:10).
c) Ragam Fungsiolek
Ragam
berdasarkan sikap penutur mencakup daya ucap secara khas. Ragam ini digunakan
antara lain dalam kegiatan: kesehatan, susastra, olahraga, jurnalistik,
lingkungan, dan karya ilmiah. Setiap bidang tersebut menampakkan ciri
tersendiri dalam pengungkapannya.
d) Ragam Lisan dan Tulis
Ragam lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Memanfaatkan alat ucap dengan bantuan intonasi, mimik, dan gerak-gerik anggota
tubuh.
2.
Komunikasi berlangsung secara tatap muka.
Ragam bahasa tulis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Menggunakan ejaan dalam penyampaian informasi.
2.
Komunikasi berlangsung secara non tatap muka.
Ragam bahasa lisan, dalam kegiatan sehari-hari terwujud melalui:
1)
Ragam percakapan.
2)
Ragam pidato.
3)
Ragam kuliah.
Sedangkan ragam bahasa tulis dapat dilihat pada penggunaan:
1)
Ragam teknis.
2)
Ragam undang-undang.
3)
Ragam catatan.
4)
Ragam surat-menyurat.
e) Ragam Baku dan Tidak Baku
Ragam
bahasa baku (standar) memiliki sifat; kemantapan, dinamis, kecendikiaan, dan keseragaman.
Ragam baku adalah ragam (konvensional) yang telah disepakati bersama dan
terkumpul dalam Tata Bahasa Baku.
1.4 Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan
dalam bahasa tulis. Di dalamnya berisi kaidah yang mengatur;
a)
bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran, dan
b)
bagaimana hubungan antar lambang-lambang itu baik pemisahan atau penggabungan
dalam suatu bahasa. Secara teknis ejaan dimaksud sebagai cara penulisan huruf,
penulisan kata, penulisan kalimat, dan penulisan tanda-tanda baca atau pungtuasi.
Ejaan
yang pernah dirumuskan untuk kepentingan tulis-menulis di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Ejaan Van Ophuysen (1901).
2. Ejaan Soewandi (1947).
3. Ejaan Pembaharuan (1957).
4. Ejaan Melayu-Indonesia/Melindo (1959).
5. Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan/LBK (1966).
6. Ejaan Yang Disempurnakan (17 Agustus 1972).
1.5 Jenis-Jenis Karya Tulis (Wacana)
Berdasarkan
wacana karangan dapat dikelompokkan sesuai dengan jenis isi dan tujuannya,
dikenal beberapa jenis wacana yaitu:
1. Deskripsi
Deskripsi
atau pelukisan adalah jenis karya tulis yang berupaya melukiskan
sesuatu dengan keadaan sebenarnya, sehingga dapat mencitrai (melihat,
mendengar, mencium, dan merasakan) apa yang dicitrakan penulis kepada pembaca.
2. Eksposisi
Eksposisi
atau paparan adalah jenis karya tulis yang berusaha menjelaskan
pokok pikiran yang dapat memperluas pengetahuan pembaca.
3. Persuasi
Persuasi
atau bujukan merupakan jenis karya tulis bertujuan membujuk,
mempengaruhi pembaca dengan cara mengemukakan argumentasi disertai data atau
fakta. Itulah sebabnya persuasi ditulis dalam bentuk artikel, makalah, hingga
ke orasi ilmiah.
4. Argumentasi
Argumentasi
adalah sebuah karya tulis yang berusaha memberikan
alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Data atau fakta dalam argumentasi digunakan sebagai penguat alasan.
5. Narasi
Narasi
atau cerita adalah jenis karya tulis yang
berkenaan dengan rangkaian peristiwa. Rangkaian
itu dapat disusun menurut urutan waktu (kronologis).
Latihan dan Soal
1.
Sebutkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negera !
2.
Sebutkan ejaan-ejaan yang pernah digunakan (diberlakukan) di Indonesia untuk
kepentingan tulis-menulis !
3.
Sebutkan jenis-jenis wacana beserta contohnya masing-masing dalam bentuk
paragraf !
BAB II
TEKNIK MENULIS KARYA ILMIAH
2.1 Pengertian Karya Ilmiah
Karya
ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan
suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau
peneliti. Untuk memberitahukan sesuatu hal secara logis dan sistematis
kepada para pembaca. Karya ilmiah biasanya ditulis untuk mencari jawaban
mengenai sesuatu hal dan untuk membuktikan kebenaran tentang sesuatu yang
terdapat dalam objek tulisan. Maka sudah selayaknyalah, jika tulisan ilmiah
sering mengangkat tema seputar hal-hal yang baru (aktual) dan belum pernah
ditulis orang lain. Jika pun, tulisan tersebut sudah pernah ditulis dengan tema
yang sama, tujuannya adalah sebagai upaya pengembangan dari tema terdahulu.
Disebut juga dengan penelitian lanjutan.
Tradisi
keilmuan menuntut para calon ilmuan (mahasiswa) bukan sekadar menjadi penerima
ilmu. Akan tetapi sekaligus sebagai pemberi (penyumbang) ilmu. Dengan demikian,
tugas kaum intelektual dan cendikiawan tidak hanya dapat membaca, tetapi juga
harus dapat menulis tentang tulisan-tulisan ilmiah.
Istilah karya ilmiah di sini adalah mengacu kepada karya tulis yang
penyusunan dan penyajiannya didasarkan pada kajian ilmiah dan cara kerja
ilmiah. Dilihat dari panjang pendeknya atau kedalaman uraian, karya tulis
ilmiah dibedakan atas makalah (paper) dan laporan penelitian. Dalam penulisan,
baik makalah maupun laporan penelitian, didasarkan pada kajian ilmiah dan cara
kerja ilmiah. Penyusunan dan penyajian karya semacam itu didahului oleh studi pustaka
dan studi lapangan (Azwardi, 2008:111).
Sementara itu, Yamilah dan Samsoerizal (1994:90) memaparkan bahwa
ragam karya ilmiah terdiri atas beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Menurut
pengelompokan itu, dikenal ragam karya ilmiah seperti; makalah, skripsi, tesis,
dan disertasi.
2.2 Sikap Ilmiah
Ada
tujuh sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap penulis atau peneliti
berdasarkan pendapat Istarani (2009:4) yaitu: sikap
ingin tahu, sikap kritis, sikap terbuka, sikap objektif, sikap menghargai karya
orang lain, sikap berani mempertahankan kebenaran, dan sikap menjangkau ke
depan.
2.3 Ciri-Ciri Karya Ilmiah
Karangan
ilmiah adalah karangan yang berisi argumentasi penalaran keilmuan yang
dikomunikasikan melalui bahasa tulis yang formal dengan sistematis-methodis.
Karangan ilmiah bersifat sistematis dan tidak emosional. Dalam karya ilmiah
disajikan kebenaran fakta.
Ciri-ciri
karya ilmiah menurut Alamsyah (2008:99) adalah sebagai berikut:
(1)
merupakan pembahasan suatu hasil penelitian (faktual
objektif ). Artinya, faktanya sesuai dengan yang diteliti,
(2)
bersifat methodis dan sistematis. Artinya,
dalam pembahasan masalah digunakan metode tertentu dengan langkah-langkah yang
teratur dan terkontrol secara tertip dan rapi,
(3)
tulisan ilmiah menggunakan laras ilmiah.
Artinya, laras bahasa ilmiah harus baku dan formal.
Selain itu laras ilmiah harus lugas agar tidak ambigu (ganda).
2.4 Manfaat Penulisan Karya Ilmiah
Ada
beberapa manfaat penulisan karya ilmiah adalah sebagai berikut:
(1) penulis akan terlatih mengembangkan keterampilan membaca yang efektif, karena sebelum
menulis karya ilmiah, penulis harus membaca dulu,
(2)
penulis akan terlatih menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber dan mengembangkan ke tingkat pemikiran yang lebih matang,
(3) penulis
akan terasa akrab dengan kegiatan perpustakaan,
seperti bahan bacaan dalam katalog pengarang atau katalog judul buku,
(4)
penulis akan dapat meningkatkan keterampilan dalam
mengorganisasikan dan menyajikan fakta secara jelas dan sistematis,
(5) penulis
akan memperoleh kepuasan intelektual, dan
(5) penulis turut memperluas
cakrawala ilmu pengetahuan masyarakat (Istarani, 2009:5).
2.5 Prinsip-Prinsip Penulisan Karya Ilmiah
Prinsip-prinsip umum yang mendasari penulisan sebuah karya ilmiah
adalah:
1. Objektif, artinya setiap pernyataan ilmiah dalam
karyanya harus didasarkan kepada data dan fakta. Kegiatan ini disebut studi
empiris. Objektif dan empiris merupakan dua hal yang bertautan.
2. Prosedur atau penyimpulan penemuannya melalui
penalaran induktif dan deduktif.
3. Rasio dalam pembahasan data. Seorang penulis karya
ilmiah dalam menganalisis data harus menggunakan pengalaman dan pikiran secara
logis.
2.6 Tema Karya Ilmiah
Dalam
menulis karya ilmiah, penulis hendaklah mengangkat tema-tema
yang aktual dan bukan suatu tema yang sudah basi dan kusam. Tema
merupakan amanat atau pesan-pesan yang dapat dipetik dari karangan. Rumusan
dari simpulan yang berupa pesan-pesan pengarang itulah yang disebut tema.
Sebuah
tema yang baik adalah harus menarik perhatian penulis sendiri. Apabila penulis
senang dengan pokok pembicaraan yang ingin dikarang tentu seorang pengarang
dalam keadaan senang atau tidak dalam keadaan terpaksa. Selain menarik
perhatian, tema yang hendak ditulis terpahami dengan baik oleh penulis.
Selain
tema dalam setiap tulisan ilmiah juga harus memiliki topik. Ada sebagian orang
menyamakan antara topik dengan tema. Ternyata pendapat itu keliru. Topik adalah
pokok pembicaraan yang ingin disampaikan dalam karangan.
Rambu-rambu yang harus diketahui dan dipahami oleh seorang penulis
untuk menentukan dan memilih topik yang baik adalah sebagai berikut:
(1)
Topik sebaiknya aktual.
(2)
Topik sebaiknya berasal dari dunia atau bidang kehidupan yang akrab dengan
penulis.
(3)
Topik sebaiknya memiliki nilai tambah atau memiliki arti yang penting, baik
bagi penulis sendiri atau bagi orang lain.
(4)
Topik sebaiknya selaras dengan tujuan pengarang dan selaras dengan calon
pembaca.
(5)
Topik sebaiknya asli, bukan pengulangan atas hal yang sama yang pernah
disajikan oleh orang lain.
(6)
Topik sebaiknya tidak menyulitkan pencarian data, bahan, dan informasi lain
yang diperlukan.
2.7 Tahapan Umum Penulisan Karya Ilmiah
Tahap
persiapan mencakup kegiatan menemukan masalah atau mengajukan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian. Masalah yang ditemukan itu didukung oleh latar
belakang, identifikasi masalah, batasan, dan rumusan masalah. Langkah
berikutnya mengembangkan kerangka pemikiran yang berupa kajian teoritis.
Langkah
selanjutnya adalah mengajukan hipotesis atau jawaban atau dugaan sementara atas
penelitian yang akan dilakukan. Metodologi dalam tahap persiapan penulisan
karya ilmiah juga diperlukan. Metodologi mencakup berbagai teknik yang
dilakukan dalam pengambilan data, teknik pengukuran, dan teknik analisis data.
Kemudian tahap penulisan merupakan perwujudan tahap persiapan ditambah dengan
pembahasan yang dilakukan selama dan setelah penulisan selesai. Terakhir adalah
tahap penyuntingan dilakukan setelah proses penulisan dianggap selesai.
2.8 Bahasa Karya Ilmiah
Bahasa
memegang peranan penting dalam penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu pemahaman
tentang diksi (pilihan kata atau seleksi kata, bahasa Inggris; diction),
istilah, kalimat, penyusunan paragraf, dan penalaran yang diungkapkan harus dikuasai
peneliti. Selain itu, penulisan karya ilmiah harus mengacu pada Pedoman Umum
Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan sesuai dengan penggunaan bahasa
Indonesia yang baku. Dengan demikian, gaya penulisan karya ilmiah hendaknya
memiliki kejelasan, reproduktif, dan impersonal.
Di sisi
lain, bahasa merupakan alat yang cukup penting dalam karangan ilmiah. Langkah
pertama dalam menulis karya ilmiah yang baik adalah menggunakan tata bahasa
yang benar (Suriasumantri, 1986:58). Apabila bahasa kurang cermat dipakai,
karangan bukan saja sukar di pahami, melainkan juga mudah menimbulkan salah
pengertian. Bahasa karangan yang kacau menggambarkan kekacauan pikiran penulis
(Surakhmat dalam Finoza, 2006:215).
Dalam
menulis karya ilmiah penulis juga diharapkan mampu menggunakan bahasa secara
cermat. Sajikan ide-ide secara urut sehingga pokok-pokok pikiran dan konsep
tersusun secara koheren. Gunakan ungkapan yang ekonomis sehingga tidak terjadi
pengulangan ide atau penggunaan kata-kata yang berlebihan. Selain itu, gunakan
ungkapan halus (smooth), agar pembaca dapat mengikuti alur pembahasan dengan
mudah. Gaya kalimat jangan seperti puitis dan perhatikan penulisan secara benar
dan baku.
2.9 Penggunaan Bahasa dalam Karya Ilmiah
Dalam
penggunaan bahasa terdapat beberapa ragam bahasa. Sugono (1999:10) berpendapat
bahwa berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dapat
dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ragam
bahasa hukum, ragam bahasa niaga, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa
jurnalistik.
Yamilah
dan Samsoerizal (1994:10) mengklasifikasikan ragam bahasa dengan nama istilah
ragam fungsiolek. Ragam fungsiolek adalah ragam berdasarkan sikap penutur
mencakup daya ucap secara khas. Ragam ini digunakan antara lain dalam kegiatan:
kesehatan, susastra, olahraga, jurnalistik, lingkungan, dan karya ilmiah.
Setiap bidang tersebut menampakkan ciri tersendiri dalam pengungkapannya.
Bahasa ragam karya ilmiah memiliki karakteristik tersendiri yaitu : singkat,
padat, sederhana, lugas, lancar, dan menarik.
Selain
itu, gaya penulisan karya ilmiah hendaknya memiliki kejelasan, reproduktif, dan
impersonal. Kejelasan dimaksudkan bahwa setiap karya ilmiah harus mampu
menyampaikan informasi kepada pembaca tentang objek penelitiannya secara
gamblang. Kegamblangan ini dibicarakan sebagai foto kopi dari aslinya. Inilah
yang dimaksud dengan reproduktif. Sedangkan impersonal berarti peniadaan kata
ganti perorangan seperti: saya atau peneliti. Misalnya: Adapun masalah yang
akan diteliti mencakup, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan penelitian.
Pada posisi kata impersonal “diteliti” tidak boleh menggunakan kata saya atau
peneliti.
2.10 Tertib Mengutip
Dalam
tradisi mengarang ilmiah berlaku mengutip pendapat orang lain. Karya ilmiah
pada umumnya merupakan hasil pengamatan atau penelitian yang merupakan lanjutan
dari penelitian yang terdahulu. Dengan kata lain, hasil-hasil penelitian orang
lain, pendapat ahli, baik yang dilisankan maupun yang dituliskan dapat
digunakan sebagai rujukan untuk memperkuat uraian atau untuk membuktikan apa
yang dibentangkan (Walija, 1996:125). Dalam dunia tulis menulis ilmiah ada dua
macam jenis kutipan, yaitu: kutipan langsung dan kutipan tidak langsung.
Kutipan langsung dalam pengutipannya harus diberi tanda kutip (“… “). Sedangkan
kutipan tidak langsung tidak diberikan tanda kutip. Namun, kutipan langsung
maupun kutipan tidak langsung dalam tertib mengutip harus diberikan tanda
dengan catatan kaki (footnotes).
Catatan
kaki adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan uraian (teks) yang ditulis di
bagian bawah halaman yang sama. Apabila keterangan semacam ini disusun dibagian
akhir karangan biasanya disebut keterangan saja. Catatan kaki bukan hanya untuk
menunjukkan sumber kutipan, melainkan juga dipergunakan untuk memberikan keterangan
tambahan terhadap uraian atau teks.
Ada
beberapa prinsip mengutip, yaitu: (1) tidak mengadakan perubahan, (2)
memberitahu bila sumber kutipan mengandung kesalahan, (3) memberitahu bila
melakukan perbaikan, dan (4) memberitahu bila menghilangkan bagian-bagian
tertentu yang ada didalam kutipan.
2.11 Daftar Pustaka
Daftar
pustaka merupakan daftar sejumlah buku acuan atau referensi yang menjadi bahan
utama dalam suatu tulisan ilmiah. Selain buku, majalah, surat kabar, catatan
harian, dan hasil pemikiran ilmuan juga dapat dijadikan sebagai referensi dalam
menulis. Walija (1996:149) mengatakan bahwa daftar pustaka atau bibliografi
adalah daftar buku atau sumber acuan lain yang mendasari atau menjadi bahan
pertimbangan dalam penyusunan karangan. Unsur-unsur pada daftar pustaka hampir
sama dengan catatan kaki. Perbedaannya hanya pada daftar pustaka tiada nomor
halaman.
Unsur-unsur
pokok daftar pustaka adalah sebagai berikut:
A. Buku
sebagai Bahan Referensi
1) Nama
pengarang, diurutkan berdasarkan huruf abjad (alfabetis). Jika nama pengarang
lebih dari dua penggal nama terakhir didahulukan atau dibalik.
2)
Tahun terbit buku, didahulukan tahun yang lebih awal jika buku dikarang oleh
penulis yang sama.
3)
Judul buku, dimiringkan tulisannya atau digaris bawahi.
4) Data
publikasi, penerbit, dan tempat terbit.
5)
DAFTAR PUSTAKA ditulis dengan huruf kapital semua dan menempati posisi paling
atas pada halaman yang terpisah.
Contoh
penulisan daftar pustaka buku sebagai referensi:
Hamdani.
2011. Cerdas Berbahasa Indonesia. Lhokseumawe: Unimal Press.
Ismail,
Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
Mulya,
Hamdani. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Lhokseumawe: STAIN
Malikussaleh.
Namun,
jika bahan rujukan atau acuan dalam daftar pustaka yang bersumber dari internet
ditulis sesuai dengan aturannya tersendiri berdasarkan pendapat Alamsyah
(2008:119) sebagai berikut:
B.
Rujukan dari Internet Berupa Artikel dari Jurnal
Nama
penulis ditulis seperti rujukan dari bahan cetak, diikuti oleh tahun, judul
karya (dicetak miring) dengan diberikan keterangan dalam kurung (Online),
volume dan nomor, dan diakhiri dengan alamat sumber rujukan tersebut disertai
dengan keterangan kapan diakses, di antara tanda kurung.
Contoh:
Kumaidi.
1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu
Pendidikan, (Online), jilid 5, No 4, (http://www.malang.ac.id, diakses 20
Januari 2000).
C.
Rujukan dari Internet Berupa E-mail Pribadi
Nama
pengirim (jika ada) disertai keterangan dalam kurung (alamat e-mail pengirim),
diikuti oleh tanggal, bulan, tahun, topik isi bahan (dicetak miring), nama yang
dikirimi disertai keterangan dalam kurung (alamat e-mail yang dikirim).
Contoh:
1
Davis,
A. (a.davis@uwts.edu.au). 10 Juni 1996. Learning to Use Web Authoring Tolls.
Email kepada Alison Hunter (huntera@usq.edu.au).
Contoh:
2
Mulya,
Hamdani. (mulyahamdani@yahoo.com). 15 Oktober 2009. Teknik Menulis Karya
Ilmiah. Email kepada Redaktur Majalah Santunan Jadid
(redaksisantunan@gmail.com).
2.12
Contoh Format Umum Karya Ilmiah
Dalam
tulisan ini disajikan contoh format umum skripsi mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia. Format karya ilmiah lazim juga disebut sebagai kerangka karya
ilmiah.
KATA
PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Masalah
1.3
Tujuan Penelitian
1.4
Sumber Data
1.5
Hipotesis
1.6
Manfaat Penelitian
1.7
Pentingnya Penelitian
1.8
Metode Penelitian
1.9
Teknik Penelitian
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1
Pengertian Cerpen
2.2
Pengertian Metafora Menurut Para Ahli
2.3
Metafora dalam Cerpen
2.4
Tipe Pelimpahan Metafora dalam Cerpen
2.5
Metafora sebagai Simbolis dalam Cerpen
2.6
Metafora sebagai Sarana Penceritaan dalam cerpen
2.7
Metafora sebagai Gaya dan Nada
2.8
Metafora sebagai Penggambaran Watak Tokoh
BAB III
ANALISIS METAFORA DALAM CERPEN KARYA TAUFIQ ISMAIL
3.1
Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
4.2
Saran-Saran
DAFTAR
PUSTAKA
TABEL
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI
PENULIS
Latihan
dan Tugas
1.
Sebutkanlah ciri-ciri karya ilmiah yang anda ketahui !
2.
Sebutkan prinsip-prinsip penulisan karya ilmiah yang baik !
3.
Bahasa Indonesia yang bagaimakah digunakan dalam penulisan karya ilmiah !
4. Apa
syarat-syarat tema karya ilmiah yang baik ?
5.
Sebutkan aturan-aturan penulisan daftar pustaka dalam karya ilmiah beserta
contohnya !
BAB III
BUNGA RAMPAI BAHASA INDONESIA
AMBIGUITAS, KALIMAT EFEKTIF, DAN PESONA KEBAHASAAN
Oleh
Hamdani, S.Pd.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di dunia pendidikan. Demikian antara
lain fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Namun, dalam realitas
keseharian dalam berbudaya berbahasa, pengguna bahasa sering kali mengabaikan
aturan-aturan kebahasaan seperti ejaan. Bahkan problema seperti itu dilakukan
oleh kaum intelektual. Dalam pemakaian ejaan sering kita menemukan pemakaian
huruf kapital yang kurang tepat. Misalnya penulisan nama dosen dan gelar pada
absensi, dalam makalah atau lembaran pengesahan skripsi yang disusun oleh
mahasiswa sering ditulis dengan huruf kapital semua. Contoh: DRS. MUKHLIS A. HAMID,
M.S. Padahal penggunaan huruf kapital semacam itu suatu yang bertentangan
dengan Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD), pada tahun 1972.
Sebenarnya
cara penulisan ejaan yang benar nama dan gelar pada contoh di atas adalah Drs.
Mukhlis A. Hamid, M.S. Untuk lebih jelas silakan anda baca lagi EYD terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) sebagai tugas pribadi anda.
Menarik bukan ? Bukankah anda seorang penulis buku, peneliti, dosen, guru,
insan pers, mahasiswa, atau minimal anda masyarakat pemakai bahasa Indonesia.
Karena santunnya suatu bahasa mencerminkan luhurnya budi pengguna bahasa suatu
bangsa. Indah sekali bukan?
EYD di
dalamnya mengulas bagaimana penggunaan aturan kebahasan secara cermat dan rapi
mengenai: huruf kapital, huruf miring, tanda baca, dan peristilahan. Masih
banyak kesalahan lain yang sering kita temukan dalam penulisan huruf kapital
seperti pada penulisan nama jenis makanan, misalnya pada penulisan kata pisang
ambon dan asam jawa. Pemakai bahasa sering terkecoh dengan aturan penulisan
huruf kapital pada nama suku dan bangsa. Sering menyamakan dengan penulisan
suku Ambon dan suku Jawa.
Hal itu
mengingatkan kita bahwa pada penulisan kata pisang ambon dan asam jawa tidak
menggunakan huruf kapital, karena bukan nama suku dan bangsa. Melainkan nama
jenis makanan atau buah-buahan. Demikian juga jika kita hendak menulis nama
geografis seperti dalam kalimat berikut:
Kapal
besar itu akan berlayar ke samudera luas.
Samudera
luas ditulis dengan huruf kecil, karena samudera luas bukan nama geografis.
Namun, jika kalimat tersebut diubah menjadi:
Kapal
besar itu akan berlayar ke Samudera Hindia.
Maka
Samudera Hindia, pada setiap awal kata ditulis dengan huruf kapital, karena
merupakan nama geografis.
Dari
segi lain kesalahan berbahasa Indonesia juga kita dapatkan dalam pemakaian
bahasa yang ambiguitas. Artinya bahasa yang bermakna ganda sehingga
membingungkan pembaca karena multi tafsir. Ambigu tidak sama dengan konotasi
atau makna sampingan. Lazim disebut dengan makna kias, karena makna kias lebih
menyarankan pada pengertian bahasa figuratif atau gaya bahasa. Walaupun
demikian, ambiguitas dan konotasi keduanya dilarang keras pemakaiannya dalam
bahasa karya ilmiah. Ambiguitas dan konotasi hanya dibolehkan pemakaiannya dalam
karya sastra seperti novel, cerpen, dan puisi. Kadang-kadang juga digunakan
dalam bahasa jurnalis dan feature untuk menarik perhatian dan membuat pembaca
penasaran.
Contoh
kalimat ambigu antara lain: Kucing makan tikus mati.
Dalam
kalimat tersebut siapa yang mati ? Tikus atau kucing?
Kita
dapat memperbaiki kalimat tersebut dengan memberikan tanda koma (,) pada posisi
berikut: a) Kucing, makan tikus mati. Kalimat tersebut berarti seekor kucing
yang makan tikus sudah mati, b) Kucing makan, tikus mati. Berarti kucing dan
tikus tidak saling berinteraksi, tetapi bersifat individualistis,
c)
Kucing makan tikus, mati. Berarti seekor kucing setelah makan tikus, kucing ini
mati. Disebabkan oleh asumsi bahwa tikus mati, yang dimakan oleh kucing sebelum
mati kucing, telah memakan racun berbahaya.
Masih
banyak contoh lain kalimat ambigu yang menjadi tugas pribadi anda di rumah
untuk memperbaikinya. Sebagai pekerjaan rumah (pr) silakan anda baca buku
Komposisi: Mengolah Gagasan Menjadi Karangan karya Walija (1996) atau baca
Menulis Ilmiah karya Azwardi, S.Pd., M.Hum (2008).
Ambigu
adalah salah satu ciri dari kalimat yang tidak efektif.
Kalimat efektif merupakan suatu kalimat yang mampu menyampaikan
pesan secara akurat dan mampu juga diterima dengan akurat oleh pembaca atau
pendengar. Apabila
yang di sampaikan X oleh pembicara dan penulis maka yang diterima juga X oleh
pendengar dan pembaca. Tidak kurang dan tidak lebih (Walija, 1996:33). Sebagai
seorang orator ulung dan penulis handal kita harus mampu memahami dan menggunakan
kalimat efektif secara cermat.
Ciri-ciri kalimat efektif selanjutnya adalah
sebagai berikut:
a) memilih kata (diksi, bahasa Inggris: diction) dan istilah yang
tepat,
b) menggunakan ejaan secara cermat,
c) penghematan kata dan tidak menggunakan kata secara mubazir.
Contoh
kalimat mubazir: Banyak sekali surat-surat masuk ke kantor redaksi. Kalimat
tersebut lebih efektif jika ditulis Banyak surat masuk ke kantor redaksi,
d) menggunakan kata yang segar dan bervariasi. Jangan menggunakan
kata-kata yang kusam dan bertele-tele serta membosankan,
e) menyelaraskan dengan kalimat-kalimat lain dan koheren.
Dalam
bahasa keseharian kita juga mendengar pemakaian bahasa yang tidak efektif pada
acara seminar, orasi ilmiah, dan ceramah. Misalnya: (1) Kepada Bapak tempat dan
waktu kami persilakan dengan segala hormat. Dalam kalimat ini yang dipersilakan
tempat seperti meja dan kursi, (2) Untuk mempersingkat waktu acara kami
lanjutkan. Yang seharusnya, Untuk menghemat waktu acara kami lanjutkan, dan (3)
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-63. Penulisan yang benar adalah Hari
Ulang Tahun ke-63 Republik Indonesia. Karena ke-63 dalam kalimat tersebut
menunjukan jumlah tahun atau hari, bukan jumlah negara atau seri. Boleh kita
menggunakan jumlah di akhir, jika kalimat itu menunjukkan seri. Contoh: Pesawat
Seulawah Agam RI-01 dan Pesawat Seulawah Dara RI-02.
Demikian
banyak problema kesalahan dalam berbahasa Indonesia. Selain itu, kesalahan
berbahasa Indonesia juga terjadi pada penulisan surat-surat resmi. Kesalahan
bahasa ditambah lagi oleh “Preman Bahasa” dengan menerbitkan kamus bahasa
prokem alias bahasa gaul. Agar lebih kronis bahasa terus dirusak oleh pengguna
Hand Phone (HP) dengan bahasa layanan SMS yang multi tafsir. Untuk selanjutnya
kalangan artis menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar terlalu kaku
digunakan saat berbicara di depan publik. Lahirlah bahasa Indonesia bernuansa
ala artis. Memperbaiki bahasa Indonesia bukan hanya tugas ahli bahasa, tetapi
tugas kita semua pengguna bahasa Indonesia. Pesona bahasa kali ini membuat
pandangan kita kabur dan merasa prihatin, karena banyak bahasa yang telah di
rusak oleh kaum kita sendiri. Selamat berkarya semoga harapan berubah menjadi
kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar