MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI Semester VII B pada
Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi
Agama Islam
(STAI) As’adiyah Sengkang
Oleh : Kelompok
VII
NURUL FADILAH
NIM : 12220040
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM AS’ADIYAH SENGKANG
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Segala Puji
bagi Allah SWT ,kami mohon ampun dan pertolongan hanya kepada-Nya. Shalawat
serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia dari zaman kebodohan ke
zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu penulis dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI dengan judul “Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang ”.
Terima Kasih
yang tidak terhingga penulis haturkan kepada orang tua yang telah memberikan
dukungan penuh kepada kami, begitu pula kepada Dosen Pembimbing, yang selalu
memberikan kritik-kritik membangun demi terwujudnya penulis menjadi mahasiswa
yang berguna .
Harapan besar penulis semoga makalah ini dapat menjadi
manfaat dan memberi beberapa wawasan baru bagi kami khususnya, teman-teman dan
pada pembaca sekalian pada umumnya.
Sengkang,
9 September 2015
Penulis
Nurul Fadilah
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 1-2
A.
Latar Belakang
Masalah................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................... 3-16
A.
Sistem
Pendidikan Di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang 3
BAB III. PENUTUP............................................................................................ 17-18
A.
Kesimpulan.................................................................................... 17
B.
Saran ............................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam
yang tertua di Indonesia. Secara terminologis pesantren didefinisikan
sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Unsur-unsur
pesantren yaitu : pelaku (kyai, ustadz, santri dan pengurus), sarana perangkat
keras (masjid, rumah kyai, pondok, gedung perpustakaan, aula), sarana perangkat
lunak (tujuan, kurikulum, kitab, buku-buku, cara belajar, evaluasi belajar
mengajar.
Ditinjau dari keterbukaan terhadap perubahan yang
terjadi dari luar, pesantren dibagi menjadi 2, pesantren tradisional/salafi
yang bersifat konservatif dan pesantren khalafi/modern yang besifat adaptif.
Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk
wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada
pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas
25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai
Hasyim.
Merupakan salah satu pesantren terbesar di Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun
1899.
Pondok Pesantren Tebuireng yang pada awal berdirinya
adalah bertipe salaf, dalam dinamikanya dan untuk sekarang ini tidak lagi dapat
disebut dengan Pondok Pesantren Salaf sama sekali. Akan tetapi, pesantren ini
di samping masih mempertahankan sistem pendidikan salaf, dengan mengikuti
perkembangan zaman, menerapkan juga sistem pendidikan modern.
Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng
menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA),
hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit
tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan
Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku
dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin
Mutu, unit perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua
unit tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren
Tebuireng sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem
pendidikan di pondok pesantren salafiyah syafi’iyah Tebuireng Jombang?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem Pendidikan Pondok Salafiyah
Syafi’iyah Pesantren Tebuireng
1.
Status
Kelembagaan
Status kelembagaan pondok pesantren
salafiyah syafi’iyah Tebuireng berstatus milik yayasan, yang menempatkan kyai
sebagai tokoh kunci, dan keturunannya memiliki peluang terbesar untuk menjadi
penggantinya.
2.
Struktur
Organisasi
Pada
tahun 1899 M, belum ada istilah struktur organisasi pengurus dan personalia,
yang ada hanya istilah lurah pondo yang bertugas menangani semua
kegiatan-kegiatan para santri dalam bidang kependidikan, dan sistem pengajaran
juga masih menggunakan sistem sorogan dan sistem weton.
Langkah-langkah pengurus kolektif inipun jelas nampak membawa kemajuan besar
dalam bidang:
a.
Pendidikan dan pengajaran dalam madrasah maupun pondok bias berjalan
dengan tertib, dengan terbentuknya beberapa kelompok musyawaranh kelas yang
diadakan dua kali setiap minggu.
b.
Khusus ketertiban didalam kelas selama belajar.
c.
Ketertiban dalam bidang administrasi dan keuangan yang dikoordinir
langsung oleh sekertaris umum dan bendahara.
d.
Pengelolaan pembangunan fisik bangunan gedung, penyediaan air, penerangan
dan sebagainya.
e.
Bekerja sama dengan pihak bank, yang merupakan pusat central dalam
menerima pembayaran yang berkaitan dengan pembayaran bulan.
Kyai
merupakan power dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan dan kekuasaannya kuat
sekali. Bagi komunitas pesantren terutama santri menghargai kyai dilandasi
dengan ikhlas, ibadah, dan berkah.
3.
Pesantren
sebagai Subkultur
Pesantren merupakan bagian dari Indonesia.
Keberadaan komunitas pesantren Tebuireng adalah komunitas yang beragam
latar belakangnya, baik latar belakang daerah asal, suku, stratifikasi sosial,
dan status ekonomi. Tetapi keragaman latar belakang itu relatif dapat disatukan
sebagai kesatuan komunitas. Komunitas pesantren pada dasarnya adalah tengah
masyarakat dengan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Pandangan ini
didasarkan pada kreteria minimal dimana pesantren sebagai kesatuan komunitas
memiliki aspek-aspek berikut: eksistensi pesantren sebagai lembaga kehidupan
yang berada dari pola kehidupan umum di negeri ini terdapatnya sejumlah
penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya
proses pembentukan tata nilai, yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya,
adanya daya tarik keluar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap
sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri
dan berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat
diluarnya, yang akan berakulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang
secara universal diterima kedua belah pihak.[6]
4.
Pola
Kepemimpinan Kyai dan Perubahannya
Kyai
dipandang sebagai tokoh secara ideal oleh komunitas pesantren tersebut dan
sebagai sentral figur yang mewakili keberagaan mereka. Peran kyai dalam
pandangan ideal tersebut sangat vital, baik sebagai mediator, dinamisator,
katalisator, motivator, maupun sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya.
Sebab keberadaan kyai bagi komunitans yang dipimpinnya bukan sekedar menjadi
wakil untuk menjalin hubungan dengan dunia luar pesantren, melainkan juga dalam
rangka melindungi kepentingan masyarakat serta lembaga-lembaga islam.[7]
Mengingat
peran kyai begitu besar, maka sosok kyai sebagai pemimpin harus memiliki kriteria
ideal sebagai berikut: 1. Kyai harus dipercaya, 2. Kyai harus ditaati, 3.
Kyai harus diteladani oleh komunitas
yang dipimpinnya. Di pondok Pesantren Tebuireng terdapat suatu pandangan yang
berkait erat dengan kriteria dan prasyarat ideal atas keberadaan seorang tokoh
kyai sebagai pemimpin pesantren sekaligus pemimpin umat. Semakin konsisten dan
konsekuen seorang kyai memenuhi kreteria ideal tersebut, maka semakin kuat pula
ia dijadikan tokoh pemimpin, tidak saja oleh komunitas pesantren yang dipimpinnya
melainkan oleh seluruh umat islam yang ada di Indonesia. Sebagai contoh KH. M.
Hasyim Asy’ari, pemimpin dan pendiri pesantren Tebuireng, adalah salah seorang
diantara kyai yang pernah ada di Indonesia yang tidak saja dijadikan pemimpin
bagi komunitas pesantrennya melainkan oleh umat islam Indonesia pada umumnya
dimana beliau diberi gelar oleh para kyai: Hadratus Syekh yang artinya Tuan
Guru Besar.[8]
` Pada
saat KH. M. Hasyim Asy’ari memimpin pesantren Tebuireng komunitas pesantren
masyarakat islam pada umumnya manganggap bahwa beliau memiliki karamah,
sebagaimana anggapan terhadap sebagian pimpinan di tiga pondok sebelumnya.
Dengan adanya anggapan tersebut pada gilirannya menganggap KH. M. Hasyim
Asy’ari disamping sebagai pengajar dan pendidik juga menjadi pola anutan,
pemimpin sepiritual, dan figur yang dianggap dapat memecahkan masalah kehidupan
sehari-hari.
Setelah
KH. M. Hasyim Asy’ari wafat, maka terjadi pergeseran-pergeseran dalam pola
kepemimpinan yaitu pola kepemimpinan karismatik itu mulai diwarnai oleh pola
kepemimpinan tradisional. Penerimaan tongkat kepemimpinan berikutnya setelah
KH. M. Hasyim Asy’ari (1899-1947) adalah putranya KH.
A. Wahid Hasyim (1947-1950). Sebelum menjadi pemimpin di pesantren Tebuireng, Dengan bekal keilmuan
yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai
Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia
mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta
memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya,
karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun
pada tahun 1935, usulan Kiai Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah,
dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah
Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng. Siswa pertamanya berjumlah 29
orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang bahasa,
selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi
pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda. Untuk melengkapi khazanah keilmuan
santri, pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar
Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang
menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan Tebuireng juga
berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama,
Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain
sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang saat itu belum pernah
dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Pada
tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih secara
aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan
musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Terpilihnya
Kiai Wahid sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya beliau sudah
lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke
Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto)
No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8,
di dekat Masjid Jami’ Matraman.
Namun,
karena KH. A. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta pada masa itu, maka beliau digantikan
oleh adiknya yaitu KH. A. Karim Hasyim (1950-1951) dalam memimpin pesantren Tebuireng. Selama satu tahun memimpin Tebuireng, Kiai Karim banyak melakukan
reorganisasi dan revitalisasi sistem madrasah. Pada masa kepemimpinannya,
madrasah-madrasah di berbagai pesantren sedang mengalami masa-masa suram.
Dikatakan suram karena sejak penyerahan Kedaulatan RI
dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI tahun 1949, Pemerintah lebih
memprioritastan sistem persekolahan formal (schooling) daripada madrasah. Sebuah perlakuan diskriminatif yang
tidak adil. Perlakuan diskriminatif lainnya terlihat dari keputusan bahwa yang
boleh menjadi pegawai negeri hanya mereka yang lulus sekolah umum.
Oleh
sebab itu, madrasah-madrasah di Tebuireng pun akhirnya
diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan. Jika sebelumnya jenjang madrasah
hanya dua tingkat, yakni Shifir dan Ibtidaiyah, pada masa Kiai Karim ditambah
menjadi tiga tingkat. Yaitu Shifir dua tahun, Ibtidaiyah enam tahun, dan
Tsanawiyah tiga tahun. Periode Kiai Karim merupakan masa transisi menuju intregasi sistem salaf
dan sistem formal. Inilah tonggak awal dimulainya era pendidikan formal di
Pesantren Tebuireng, yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren
lainnya, khususnya di tanah Jawa.
Pada
masa Kiai Karim, didirikan pula Madrasah Mu’allimin enam tahun. Jenjang ini
lebih berorientasi pada pencetakan calon guru yang memilki kelayakan mengajar.
Selain pelajaran agama dan umum, para siswa Mu’allimin juga dibekali keahlian
mengajar seperti didaktik-metodik dan ilmu psikologi. Dengan adanya jenjang
Mu’allimin, permintaan tenaga guru dari berbagai daerah dapat dipenuhi.
Setelah
satu tahun mengasuh Tebuireng, Kiai Karim menyerahkan estafet kepemimpinan
kepada Kiai Baidlawi, yang merupakan kakak iparnya sendiri. Ini merupakan
klimaks dari persoalan internal Keluarga Bani Hasyim. Sebagian Keluarga Bani
Hasyim menganggap Kiai Karim jarang bermusyawarah dalam mengambil kebijakan
pengelolaan pesantren, disamping karena beliau dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi
dan Wahabi di Jawa Timur. Ada pula yang yang menganggapnya sebagai pengikut
tarekat Wahidiyyah, padahal pesantren Tebuireng merupakan salah satu pusat
tarekat Qadiriyyah.
Pergantian
jabatan pengasuh Tebuireng dari Kiai Karim kepada Kiai Baidlawi, merupakan hal
yang baru dari sistem kepemimpinan Tebuireng, karena seorang menantu dapat
menggantikan kedudukan anak kandung di saat si anak kandung masih hidup. Oleh
sebab itu beliau memimpin pesantren hanya satu tahun, KH. A. Karim hasyim
digantikan oleh kakak iparnya yaitu K. Baidlowi (1951-1952) yang juga
hanya memimpin satu tahun.
Selama
masa kepemimpinannya, Kiai Baidlawi tidak melakukan perubahan sistem maupun
kurikulum di Tebuireng. Kiai Baidhawi meneruskan dan
memelihara sistem yang sudah ada. Ketika kepengasuhan Tebuireng ingin
diteruskan oleh KH. Abdul Kholik Hasyim, Kiai Baidhawi sama sekali tidak merasa
keberatan. Dia menyerahkan kursi pengasuh kepada adik iparnya itu dengan ikhlas
hati. Baginya, figure pemimpin tidaklah penting. Yang penting adalah
kelangsungan proses belajar-mengajar di pesantren Tebuireng, terlepas siapa
pengasuhnya. Meskipun tidak lagi
menjadi pengasuh Tebuireng, Kiai Baidhawi tetap tekun membantu proses
belajar-mengajar di sana. Beliau ikut mengajar di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah
Tebuireng. Tak jarang bila ada waktu longgar, beliau memantau para santri ke
kamar-kamar.
Pola
kepemimpinan KH. A. Kholik adalah kepemimpinan karismatik, walaupun karisma
yang dimilikinya tidak sehebat KH. M. Hasyim Asy’ari tetapi komunitas yang
dipimpinnya meyakini bahwa karamah KH. M. Hasyim Asy’ari telah diwarisi oleh
KH. A. Kholok dikenal dengan pemimpin pesantren yang secara luas mengajarkan
ilmu-ilmu kesaktian dan kanuragan, sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh
pengajar kitab salaf. Keberadaan
KH. A. Kholik Hasyim sebagai pemimpin Pesantren Tebuireng tampaknya menjadi
figur sentral yang tidak saja dipatuhi dan disegani oleh komunitas pesantren,
melainkan masyarakat umum pun mengakuinya. Tidak ada satu pun yang ditetapkan kebijakan dibantah oleh komunitas
pesantren Tebuireng maupun keluarga Bani Hasyim, baik kebijakan yang bersifat
kurikuler maupun yang bersifat politis.
Ketika
Kiai Kholik meninggal tahun 1965, kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH.
Muhammad Yusuf Hasyim atau Pak Ud (1965-2006), adik bungsu Kiai Kholik yang saat itu masih aktif di Jakarta sebagai
politikus. Di bawah kepemimpinan Pak Ud, pola kepemimpinan rasional semakin
kentara. Pendirian UNHASY, SMP, SMA, serta unit-unit lain yang pengelolaannya
diserahkan kepada semacam dewan rektor/sekolah, menunjukkan bahwa pola
kepemimpinan Pak Ud adalah rasional-manajerial. Secara pribadi, Pak Ud tidak
perlu lagi terjun secara langsung atau berada dalam proses belajar-mengajar di
pesantren, karena hal itu sudah dikelola oleh pengurus pesantren atau unit
pendidikan yang ada.
Pola
rasional-manajerial juga terlihat pada saat kepemimpinan Tebuireng beralih
kepada penggantinya, KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah). Pola kepemimpinan Gus Solah mengacu
pada pola kepemimpinan kolektif. Tingkat partisipasi komunitas cukup tinggi,
struktur keorganisasian lebih kompleks, pola kepemimpinan tidak mengarah kepada
satu individu melainkan lebih mengarah kepada kelembagaan, dan mekanismenya
diatur secara manajerial.
Dalam
memutuskan persoalan penting, Gus Solah selalu berkonsultasi atau meminta
masukan dari pengurus pondok dan pengurus Yayasan, kiai dan tokoh masyarakat,
keluarga serta para alumni senior. Berbeda dengan masa kepemimpinan Kiai Hasyim,
yang tidak memerlukan konsultasi dengan siapapun dalam mengambil kebijakan.
5.
Sistem
Pengajaran Kitab-Kitab Kuning
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan islam secara selektif bertujuan menjadikan para
santrinya sebagai menusia yang mandiri yang diharapkan menjadi pemimpin umat
yang menuju ibtighaa mardhati-llahi (mengharap keridhaan Allah). Untuk
mencapai tujuan tersebut maka pesantren mengajarkan Tauhid, fiqh, Tafsir,
Hadis, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Badi’, dan Bayan, Ushul fiqh, Mustholah al-Hadis,
dan Mantiq.
Pengajaran
untuk ilmu-ilmu tersebut sering distandarisasikan dengan pengajaran kitab-kitab
wajib (Kutub al Mukarrarah) sebagai buku teks yang dikenal dengan
sebutan kitab kuning. Beragam kitab yang dikaji di pesantren Tebuireng mulai
yang sederhana seperti Safinatunnajah,
Tarqib, Al Jurumiyyah, Mutamimah, Alfiyah, Tafsir Jalalain Fathul Wahab,
Mahali, Minhaju Al Quwiem, sampai ke materi takhasus.
Sistem
pendidikan di lingkungan pesantren Tebuireng cenderung mengalami perubahan dan
pergeseran dari masa ke masa. Perubahan tersebut tahun demi tahun mengalami
kemajuan, dinamika yang ada benar-benar menggembirakan. Ada beberapa sistem
pengajaran yang digunakan untuk mempelajari dan mendalami kitab kuning di
pondok pesantren, yaitu weton (Kiai membaca kitab dan santri memberi
makna), sorogan (Santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning
dihadapan guru) , muhadarah, mudzakarah, dan majelis ta’lim. Hanya saja
yang sering dipakai adalah sistem weton dan sorogan. Sedang yang lainnya jarang
digunakan karena merupakan latihan bercakap-cakap dangan bahasa arab yang di
sebut muhadarah dan muhadasah, dan bentuk seminar seperti mudzakarah.
Sistem
pengajaran kitab-kitab kuning yang diterapkan di pondok pesantren Tebuireng
Jombang, tidak di klasifikasikan dalam tingkatan-tingkatan berdasarkan jenjang
umur dalam kurikulum sebagaimana yang dikenal dalam sistem persekolahan. Sistem
sorogan dan weton diterapkan di pesantren Tebuireng secara liberal dalam proses
belajar mengajar. Dengan dianutnya liberalisasi dalam proses belajar mengajar
ini, kemungkinan bagi siswa untuk tidak mengikuti pelajaran adalah lebih besar
karena tidak adanya ikatan formal dalam belajar , baik yang menyangkut absensi
kehadiran maupun silabus mata pelajaran yang terprogram.
Setelah
diresmikannya Forum Bahtsul masa`il Mahad Aly Hasyim Asy`ari Tebuireng
dan juga bimbel (bimbingan belajar) kitab kuning pada kamis (02/09) oleh KH
Ahmad Syakir Ridwan (Wakil Mudir Ma’had Aly), pengurus langsung tancap gas.
Pertemuan pertama bimbel dilaksanakan pada Jum`at siang, di ruang kelas Ma’had
Aly. (09/10/2015). Bimbel ini dibagi atas beberapa kelas, ada kelas A, B, dan C.
Untuk Kelas A (pemula), bagi mereka yang belum bisa nulis pegon dan belum
pernah belajar ilmu nahwu. Kelas B (sedang), bagi mereka yang sudah bisa
menulis pegon dan mendalami kitab al-Ajurumiyah. Sedangkan untuk kelas C
(mahir), bagi mereka yang sudah paham isi kitab al-Ajurumiah dan bisa baca
kitab gundul (red: tanpa harakat) taqrib (matan fathul qarib).
Pembelajaran dilaksanakan setiap Jum`at pagi dan siang.Menurut salah satu
pengajar, Ustadz Muhammad Zaenal Karomi, rata-rata dari mereka sudah tahu
tentang ilmu nahwu, akan tetapi karena jarang dibaca berulang-ulang (muraja’ah)
mereka jadi lupa. Hal itu yang menjadi perhatian khusus para pengajar bimbel
saat ini.“Sebenarnya mereka sudah punya kemampuan dasar (basic skill),
tinggal mengarahkan saja,” ujar mahasantri Mahad Aly semester V ini. Selain
menyampaikan materi, pengajar juga memasukkan sisipan motivasi tentang
bagaimana cara membaca kitab kuning yang baik dan benar sesuai kaidah ilmu
nahwu.”Saya juga menyisipkan motovasi disela-sela pengajaran, untuk menambah
semangat mereka,” tambah lelaki asal Pekalongan ini.
6.
Sistem Madrasah
dan Sekolah Umum
Sistem madrasah ini merupakan sistem klasikal yang pertama kali muncul di
pondok pesantren Tebuireng pada tahun 1916 oleh kyai Ma’shum, menantu pertama
Hadratus syekh dan mengenal pengajaran pengetahuan umum pada tahun 1919. Diawal
berdirinya sistem madrasah, maka kurikulum yang berlaku tetap berpedoman pada
pedoman yang pertama yaitu 100% agama, baru setelah terjadi pergantian pimpinan
mulailah terjadi pergeseran yang ada, yaitu dengan memasukan materi umum namun
tetap mempertahankan ciri khas pesantrennya.
Sistem madrasah di pesantren Tebuireng ada tiga tingkatan yaitu madrasah
Tsanawiyah yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang setingkat
dengan SLTA serta madrasah Al-Qur’an. Madrasah-madrasah tersebut mempertahankan
berstatus swasta, walaupun tetap mengikuti ujian Negara yang hasilnya pun tidak
mengecewakan, karena hampir rata-rata lulus 100% setiap tahunnya. Sehingga
seorang siswa Tsanawiyah ataupun Aliyah maupun madrasah Al-Qur’an setelah selesai
dibangku pelajaran dapat memperoleh dua ijazah dari salafiyah syafiiyah satau
madrasah Al-Qur’an dan ijazah Negara. Sesuai dengan peredaran zaman, mulailah
pondok pesantren Tebuireng mulai membuka lembaga pendidikan umum dengan tetap
memberikan materi keagamaan yang merupakan ciri khasnya yaitu dengan tambahan
diniyahnya.
Madrasah diniyah berdiri pada tahun 1979-1980.[11]
Sebenarnya madrasah diniyah ini pada mulanya diberi nama pengajian pagi,
kemudian awal tahun 1984 namannya diganti menjadi diniyah. Madrasah diniyah
yang secara khusus diarahkan untuk mendalami ilmu agama dan mempertinggi
kualitas ilmu agama bagi kalangan murid-murid kalangan umum seperti SMP dan
SMA.
Sekolah
umum yang ada di Tebuireng ada dua tingkatan yaitu SMP A. Wahid Hasyim. Status
SMA Wahid Hasyim disamakan pada tahun 1990, sedang SMP A. Wahid Hasyim juaga
disamakan pada tahun 1992. Dengan didirikannya SMA agar mereka kelak setelah
lulus dari SMA A. Wahid Hasyim dapat melanjutkan keperguruan tinggi ataupun
terjun ditengah-tengah masyarakat tidak canggung-canggung lagi. Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah
beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga
Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit tersebut kini
ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly,
disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah,
Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit
perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit
tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng
sekarang.
.
Kali ini pesantren yang dipimpin KH Shalahudin Wahid ini membuka pendidikan SMA
Trensains yang dipusatkan di Desa Jombok Kecamatan Ngoro Jombang. Di bawah
naungan Pesantren Tebuireng II, SMA trensains didirikan diatas lahan seluas 4
hektar, pada tahun ajaran baru 2014 ini telah menerima sebanyak 120 siswa. "Di
Indonesia baru ada dua, dan yang disini siswa yang masuk sebanyak 120 siswa.
Yakni 70 siswa putri dan 50 putra," ujar Agus Purwanto Penggagas SMA
Trensain disela sela peresmian yang dihadiri langsung Menteri Agama RI, Lukman
Hakim, Sabtu (22/8). SMA trensains sendiri lanjutnya merupakan penggabungan
sistem pendidikan agama dan sains yang selama ini masih belum ada. Trensains
didesain khusus dan berkonsentrasi pada sains dengan berbasis pemahaman dan
nalar ayat ayat semesta. "Seperti disebutkan dalam Al quran mengapa ada
surat yang diberi An Naml (semut) ini siswa harus mempelajari ayat ayat dalam
surat ini, sehingga bisa mengetahui apa yang tersirat dalam surat Semut
ini," ujar dosen ITS ini dalam sambutannya. Agus menambahkan, SMA
Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman Alqur'an dan hadist kealaman dan
interaksinya." Yakni Interaksi antara agama dan sains merupakan materi
khas SMA trensains yang berbeda dengan sekolah di kalangan pondok modern
lain,"tandasnya. Agus menambahkan, para siswa atau santri trensains
dibimbing untuk mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai.
Konsep dasar limit, diferensial dan integral perlu diperkenalkan sebagai alat
analisis dan memahami fisika." Proyeksi kedepan, lahir ilmuwan sains
kealaman, rekayasa dan dokter yang mempunyai basis Al-Quran yang kokoh,"
pungkasnya. KH Salahudin Wahid
mengatakan, SMA trensains merupakan paduan antara ilmu agama dan sains. Model
pendidikan ini dikatakannya mengembangkan apa yang telah dilakukan ayahnya KH
Wahid Hasyim yang juga berusaha menggabungkan pendidikan umum dengan memberi
materi agama untuk pendidikan umum dan juga pendidikan pesantren dengan materi
umum yang sempat ditolak para ulama dan kiai. "Pada dasarnya kita melanjutkan
apa yang telah dilakukan KH Wahid Hasyim dulu, dan tebuireng kini mengembangkan
itu," tuturnya seraya mengatakan hingga saat ini belum ada pesantren atau
sekolah Islam yang mengambil khusus untuk memperdalam Sains.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Status
Kelembagaan : Status kelembagaan pondok pesantren salafiyah
syafi’iyah Tebuireng berstatus milik yayasan.
2.
Struktur
Organisasi : Pimpinan tertinggi memimpin sayap pertama dan
kedua, yang mirip dengan seorang direktur. Bila dilihat dari segi ajaran,
mekanisme penyelanggaraan pesantren tunduk pada dewan kyai, tetapi jika dilihat
dari segi organisasi, penyelenggaraan pesantren tunduk pada direktur pesantren.
3.
Pesantren
sebagai Subkultur : Keberadaan komunitas pesantren Tebuireng adalah
komunitas yang beragam latar belakangnya.Tetapi keragaman latar belakang itu
relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas. Komunitas pesantren pada
dasarnya adalah tengah masyarakat dengan kompleksitas permasalahan yang ada
didalamnya.
4.
Pola
Kepemimpinan Kyai dan Perubahannya : Kyai dipandang sebagai tokoh secara ideal oleh
komunitas pesantren tersebut dan sebagai sentral figur yang mewakili keberagaan
mereka.
5.
Sistem
Pengajaran Kitab-Kitab Kuning :
mengajarkan Tauhid, fiqh, Tafsir, Hadis, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Badi’, dan
Bayan, Ushul fiqh, Mustholah al-Hadis, dan Mantiq.
6.
Sistem Madrasah dan Sekolah Umum : Sistem madrasah ini merupakan sistem
klasikal yang pertama kali muncul di pondok pesantren Tebuireng pada tahun 1916
oleh kyai ma’shum, Sistem madrasah di pesantren Tebuireng ada tiga tingkatan
yaitu madrasah Tsanawiyah yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang
setingkat dengan SLTA serta madrasah Al-Qur’an
Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah beberapa unit
pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Universitas Hasyim
Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi
dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping
unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit
Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit
perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit
tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng
sekarang..
B.
Saran
Mempelajari
karakteristik dari pondok pesantren lainnya merupakan sebuah ilmu baru sebagai
sarana untuk membandingkan dan mengambil kebaikan untuk memperindah pesantren
yang dimiliki sendiri, terutama pada sistem dan struktur kurikulum yang ada
didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboebakar. Sejarah Hidup KH. A. Wahid
Hasyim dan karangan Tersiar .Jakarta: Paniya Buku Peringatan Alm. Wahid
Hasyim. 1957.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren
(Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai) Jakarta: LP3ES. 1990.
Damopoli, Mujiono, Dr. M. Ag., Pesantren
Modern Immim. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Horokoshi, Hiroko. Kyai Dan Perubahan Social
.Jakarta: P3M. 1987.
Mastuhu, Dinamika .Sistem Pendidikan Pesantren:
Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta:
INIS. 1994.
Nasir, M. Ridlwan Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue
Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Pengurus pondok pesantren Tebuireng, Brosur
Pondok Pesantren Tebuireng .Tebuireng:
1975.
Qamar, Mujamil, Prof. Dr. Manajemen
Pendidikan Islam., Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Wahid, Abdurahman. Pesantren Sebagai
Subkultur .Jakarta: LP3ES. 1983.
Sumber Lainnya
Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur (Jakarta:
LP3ES, 1983), hlm. 39-40.
Hiroko Horokoshi, Kyai Dan Perubahan Social (Jakarta: P3M,
1987), hlm. 188.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai) (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 92.
M. Ridlwan Nasir, Mencari
Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Ditengah Arue Perubahan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 316-322.