MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan Semester
VI B pada
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) As’adiyah
Sengkang
Oleh : Kelompok
XI
MUHLIS
NURUL FADILAH
FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG
2014/2015
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT ,kami mohon ampun dan pertolongan hanya
kepada-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan ke zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat
Ilmu itu penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Pengembangan Kurikulum
PAI dengan judul “ Teori Belajar
Humanistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran ”.
Terima Kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada orang tua
yang telah memberikan dukungan penuh kepada kami, begitu pula kepada Dosen Pembimbing,
yang selalu memberikan kritik-kritik membangun demi terwujudnya penulis menjadi
mahasiswa yang berguna .
Harapan besar penulis semoga
makalah ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa wawasan baru bagi kami
khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada umumnya.
Sengkang, 28 Maret 2015
Penulis
Kelompok V
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 1-2
A.
Latar Belakang
Masalah................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
BAB I
PEMBAHASAN...................................................................................... 3-18
A.
Konsep Teori
Belajar Humanistik ................................................. 3
B.
Tokoh Teori
Humanistik................................................................ .... 6
C.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik.................. 13
D.
Aplikasi Teori
Belajar Humanistik................................................. 14
E.
Implikasi Teori
Belajar Humanistik............................................... 15
F.
Model Pembelajaran
Humanisme.................................................. 16
BAB V. PENUTUP..............................................................................................
19-20
A.
Kesimpulan.................................................................................... 19
B.
Saran ............................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar adalah key
term, 'istilah kunci' yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan.
Belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai sikap, dan perubahan itu bersifat
secara relatif konstans dan membekas.
Pribadi manusia
itu dapat berubah karena dipengaruhi oleh sesuatu, karena itu ada usaha untuk
mendidik pribadi dan membentuk pribadi. Belajar juga memainkan peran penting
dalam mampertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di
tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya
yang lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan
tragis bisa pula terjadi karena belajar.
Menurut
Muhibbin Syah, seorang peserta didik yang menempuh proses belajar, idealnya
ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman psikologis baru yang positif,
yaitu pengalaman-pengalaman bersifat kejiwaan yang diharapkan dapat
mengembangkan aneka ragam sifat, sikap, dan kecakapan yang konstruktif, bukan
kecakapan yang destruktif (merusak).
Namun, banyak ditemukan proses pembelajaran terjadi tanpa memperhatikan
kondisi psikologis siswa. Sejauh ini, masih banyak teori belajar lebih
menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar
mengajar. Hal demikian tampak ketika
peserta didik belajar sangat dipengaruhi oleh bagaimana dia berpikir.
Guru hanya mengidentifikasi apa yang penting, sulit, atau sesuatu yang belum
dikenal, dan membangkitkan informasi yang telah dipelajari. Hal ini juga
terlihat dari metode yang digunakan guru masih bersifat konvensional, yaitu
ceramah dan hafalan tanpa memperhatikan faktor nilai yang melekat pada diri
siswa, sehingga interaksi cenderung bersifat teacher centered (berpusat
pada guru).
Guru terkadang
hanya memahami bahwa proses pembelajaran hanya sekedar transfer of knowledge,
dan hal ini sering tidak disadari oleh guru. Bahkan menurut Reber (1989)
sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah, menyatakan bahwa belajar adalah the
process of acquiring knowledge (proses memperoleh pengetahuan). Pengertian
ini biasanya dipakai oleh aliran psikologi kognitif, sehingga lebih menekankan knowledge
dan menafikan value. Menurut Morgan dan kawan-kawan (1986) sebagaimana
yang dikutip oleh Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, bahwa belajar adalah
perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan
atau pengalaman dan adanya proses internal yang terjadi di dalam diri
seseorang. Perubahan ini tidak terjadi karena adanya warisan, genetik, atau
respon secara alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisme yang bersifat
temporer, seperti kelelahan, pengaruh obat-obatan, rasa takut, melainkan
perubahan dalam pemahaman, prilaku, persepsi, motivasi, atau gabungan dari
semuanya. Dengan demikian, belajar tidak hanya transfer of knowledge,
tetapi juga transfer of value, sehingga siswa mengalami perubahan dan
mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan
lingkunganya.
Untuk
mengembangkan hal tersebut, seharusnya dalam suatu sistem pendidikan siswa
tidak harus menyesuaikan dengan kurikulum (siswa untuk kurikulum), tetapi
sebaliknya, kurikulum untuk siswa. Artinya, orientasi belajar bukan
menyelesaikan materi, akan tetapi lebih menekankan pada proses penerimaaan
materi. Seperti yang diungkapkan oleh aliran teori humanistik, orientasi
belajar dalam proses pembelajaran harus berhulu dan bermuara pada manusia itu
sendiri. Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan
kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri
individu yang melibatkan seluruh domain yang ada. Dengan kata lain, pendekatan
humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan (emotional
approach), komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
setiap siswa. Teori
belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan
manusia. Oleh karena itu peserta didik
mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian
yang dikemukakan pada latar belakang, dapat diformulasikan permasalahan pokok
sebagai berikut:
- Apakah teori belajar humanistik itu?
- Siapakah tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik?
3. Dimana kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme?
- Bagaimana aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran
- Apa implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran?
6. Apa saja Model pembelajaran humanisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Teori Belajar
Humanisme
Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki
tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat
dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan
permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Dengan kata
lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia
mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 56). Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka (Drs.M.Dalyono,
2012 : 43).
Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah
pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah
memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik
dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif,
mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas
materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya
masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39). Mampu menerima dirinya
sendiri, perasaan mereka dan lain-lain disekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan
aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan
mereka menjadi kreatif (Sudarwan Danim dan
H.Khairil,2011:23-26).
Para teoritikus humanistik, seperti Carls Rogers (1902-1987) dan
Abraham Maslow (1908-1970) menyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat
dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun
sebagai hasil pengkondisian (conditioning) yang sederhana.Teori ini menyiratkan
penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan
oleh faktor diluar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor
dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan.
Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif
dan self-direction.[1]
Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi
pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru.
Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam
pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial,
konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan
ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal,
perseptual atau fenomenologikal.
Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku
(behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme
muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan
dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini
pun juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).
Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju
pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh
maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka
sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian
materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Gerakan
munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran bersama
beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang berkemampuan
menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya mengfungsikan
manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya mempunyai kapasitas
serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya (Herpratiwi,
2009: 37).
Menurut aliran humanistik, para pendidik
sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan
kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik
melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi
lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme
berfokus pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk
menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan
bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Perkembangan
pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini
berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan.
Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan
perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa
menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri
dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38). Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13).
Konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi
manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal
sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri,
menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan
karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 57).
Keleluasaan untuk memilih apa yang akan
dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan mempelajarinya merupakan ciri
utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated leaner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan
bersedia melakukan banyak hal apabila mereka
memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk
menentukan apa yang mereka inginkan. Pengertian humanisme yang beragam membuat
batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam
arti pula. Kata humanisme dalam pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa
sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan.
Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanisme
(Herpratiwi, 2009: 38).
Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan
dalam pendidikan humanisme sebagai berikut.
1. Kejujuran
(tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
2. Menghargai
hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau
mendengarkan orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap
problem orang lain).
3.
Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas,
dll. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain).
4. Perilaku
(mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku
pantas didepan publik).
5. Perkembangan
pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik,
mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan
rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani,
terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya
keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain,
bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan
orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya.
Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para
pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba untuk membuat pembelajaran
yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat,
berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi.
Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas
mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para
pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi
dalam dunia pendidikan. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik
yang sangat kuat yang nampak dari para
pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu
potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan
mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita
dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009:
42-43).
B. Tokoh-Tokoh Teori
Belajar Humanisme
1.
Athur W. Combs
(1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan
dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk
itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Konsep pendekatan
humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif (Herpratiwi,
2009: 45).
Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa
dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut. Sehingga, apabila ingin
mengubah perilaku siswa tersebut guru harus mengubah keyakinan atau pandangan
siswa yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah
menyatu pada materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini yang penting ialah
bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya
dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan
kehidupannya sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Arthur W. Comb ialah seorang humanis, ia
berpendapat bahwa perilaku batiniah seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan
maksud menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang
lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berfikir
tentang dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia
mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu
situasi. Apa yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi
orang lain. Dalam pembelajaran menurut para ahli psikologi humanistis, jika
peserta didik memperoleh informasi baru informasi itu dipersonalisasikan ke
dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik
akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik.
Karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang
menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan,
tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung
di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar
dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil
(Herpratiwi, 2009: 45).
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan
dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang tertitik pusat
satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar
adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri,
makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
2. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di
dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan
takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi
lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri
menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi lima hierarki.
Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan
fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya,
ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan
manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus
diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan
motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa terpenuhi
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59). Artinya,
jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa nyaman, mereka
akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk
memiliki dan untuk dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka
sendiri”[2].
Adapun Teorinya
yang paling di kenal adalah teori tentang Hierarchy of Needs (hierarki
kebutuhan) menurut Maslow sebagai
berikut.
ü Kebutuhan fisiologis/ dasar.
ü Kebutuhan akan rasa aman dan
tentram.
ü Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
ü Kebutuhan untuk dihargai.
ü Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).
1.
Kebutuhan fisiologi/
dasar/jasmaniah (Basic Needs) seperti makan, minum dan tidur
2.
Kebutuhan akan rasa
aman dan tentram (Safety Needs) seperti kesehatan. Keamanan lingkungan dan
terhindar dari bencana.
3.
Kebutuhan untuk
dicintai dan disayangi (Belongingness Needs) seperti persahabatan, keluarga dan
kelompok.
4.
Kebutuhan untun
dihargai (Esteem Needs) seperti harga diri dan penghargaan orang lain.
5.
Kebutuhan untuk
aktualisasi diri (Self Actualization Needs) seperti moralitas, ekspresi diri
dan kreativitas.
Implikasi teori ini terhadap pembelajaran
sangat penting, guru harus memperhatikan teori ini, apabila guru menemukan
kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan tugas,
mengapa anak tidak dapat tenang dalam kelas atau bahkan tidak memiliki motivasi
dalam belajar. Menurut Maslow guru tidak dapat menyalahkan kesalahan ini secara
langsung pada si anak, bisa jadi beberapa kebutuhan anak belum terpenuhi secara
baik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”,
Maslow mencoba untuk mengkritik Freud dan Behavioristik. Menurut Maslow, yang
terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimiliknya. Humanistik
lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada
“ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis
Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para
pendidika yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan pengajaranya pada
pembangunan kemampuan positif (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga hubungan
yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan,
kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya ialah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 59).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para
pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi
dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu
perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi,
dapat dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak
dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu
potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan
mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita
peroleh dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 60).
Berbeda dengan behaviorisme yang melihat
motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam
kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara
motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu
ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku
manusia, spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi yang
dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow menggambarkan motivasi
manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga
menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan
fisiologis dan keamanan (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
3. Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang
menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien
dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang
benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment
dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi, 2009:
49).
Rogerss membedakan dua tipe belajar, yaitu
kognitif (kebermaknaan) dan experiental
(pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam
pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki
mobil. Experiental learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup;
keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek
yang membekas pada siswa. Menurut Rogerss, yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, sebagai berikut.
a.
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b. Siswa
akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang
bermakna bagi siswa.
c. Pengorganisasian
bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
d. Belajar
yang bermakna dalam masyarakat modern belajar tentang proses (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 61).
Dari bukunya freedom to learn, ia menunjukan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya sebagai berikut.
1. Manusia
mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2. Belajar
yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai
relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3. Belajar
yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabika
ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5. Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6. Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam prose belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
8. Belajar
atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan
lestari.
9. Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama
jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri.
Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10. Belajar
yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61-62).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang
bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada
hasil belajar.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup
konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogerss, diteliti oleh
Aspy dan Roebuck pada tahun 1975. Model ini mengenai kemampuan para guru untuk
menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik
positif. Menurut
Roger, peranan guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan
teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam :
(1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik
bersikap positif terhadap belajar,
(2) membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar,
(3) membantu peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan
cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar,
(4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan
(5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai
peserta didik sebagaimana adanya. (Hadis, 2006: 72)
Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa guru
yang fasilitatif mampu mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep
diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran
bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat masalah yang
berkaitan dengan disiplin, mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta
menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir yang lebih
tinggi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
Teori Rogerss dalam bidang-bidang pendidikan
dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator belajar, yaitu: (1) realitas di
dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan, penerimaan dan kepercayaan, dan (3)
pengertian empati. Dari ketiga sikap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.
Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang
fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri. Sehingga
ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang
ditutup-tutupi.
2.
Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya
membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan
tersebut maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang lainnya.
3.
Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar
inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi
murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang senditif bagi jalanya
proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan
materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru (Herpratiwi, 2009: 53).
C. Kelebihan dan
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
Di bawah ini
akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik, sebagai
berikut.
1.
Kelebihan teori belajar
humanistik
·
Pembelajaran dengan
teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis
terhadap fenomena sosial.
·
Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan
sendiri.
·
Siswa diharapkan
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak
orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang
berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
2.
Kelemahan teori belajar
humanistik
ü Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok
menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang
kurang aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia
akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran,
padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar
juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa
berperan sebagai pelaku utama (student
center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa
itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian
siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
D. Aplikasi Teori Belajar
Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada
roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang
diterapkan (Sumanto, 1998: 235). Peran guru
dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan
memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Sukardjo dan Komarudin,
2009: 64).
Pandangan kalangan humanis tentang proses
belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan
prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan
sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi
sebagai proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar
secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti
bahwa ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian
belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta
didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan
paham betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61). Adapun proses
yang umumnya dilalui sebagai berikut.
a. Merumuskan
tujuan belajar yang jelas.
b.
Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas,
jujur, dan positif.
c. Mendorong
siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri.
d. Mendorong
siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e. Siswa
didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang
ditunjukan.
f. Guru
menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai
secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala
resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g. Memberikan
kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h. Evaluasi diberikan secara
individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa (Mulyati, 2005: 182)
E. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Penerapan teori
humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang
mewarnai metode-metode yang diterapkan. Hal yang menjadi Ilmu pengetahuan
merupakan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud dalam hal ini adalah serangkaian
proses pembelajaran yang didalamnya terdapat nilai-nilai humanisme dan telah
dilalui oleh peserta didik. Adapun peran guru dalam pembelajaran humanistik
adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik saat guru memberikan motivasi, kesadaran
mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi
pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk
memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini
cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa
senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan
Komarudin, 2009: 65).
Psikologi humanistik berharap bahwa guru
sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai
kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a. Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas.
b. Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Fasilitator
mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna.
d.
Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling
luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e. Fasilitator
menempatkan dirinya disuatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh
kelompok.
f. Di
dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik
yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang
sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g. Bilamana
kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang
siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h. Fasilitator
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i. Dia
harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
j. Di
dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri (Dakir, 1993: 65).
Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik
ialah guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu
berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan
mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru
yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai
perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan
kurang peka terhadap perubahan yang ada.
Peserta didik
berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa
memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih
menitik beratkan pada proses belajar daripada hasil belajar.
F. Model Pembelajaran
Humanisme
1. Humaning Of The Classroom, ini
dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga
menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus
ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang
terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini
tertumpu pada tiga hal, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan
yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan
kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi
materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang
sangat manusiawi.
2. Active Learning dicetuskan oleh Melvin
L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa
belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada
saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan
belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan
menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active
Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan
cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham,
dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus
ialah dengan membelajarkan.
3. Quantum Learning merupakan cara
pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di
sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum
Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan belajar dan
neurolenguistik dengan teori keyakinan dan
metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan
bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan
mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan
metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat
ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus
mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk
informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
4. The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep
dasar dari pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan
memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam
mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic,
auditory, visual dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalah learning bay talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter
menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan,
warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun
semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan
pengalaman belajar efektif .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Teori belajar humanistik yaitu
ü Belajar untuk memanusiakan manusia.Manusia
sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau
tekanan lingkungan. Manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk
menjadi lebih baik dan juga belajar.
- Tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik yaitu Arthur W. Combs, Abraham Malsow dan Carl Ransom Rogerss.
3.
Kelebihan dan kekurangan teori belajar
humanisme.
ü Kelebihan
Ø Sangat cocok untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial ; siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan
terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. ; dan siswa
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak
orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang
berlaku.
ü Kekurangan
Ø Kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif;
siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan
proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri ; peran guru
dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.
- Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran sebagai berikut.
Pada umumnya : 1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas 2. Mengusahakan
partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas ,
jujur dan positif. 3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan
kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri 4. Mendorong
peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri 5. Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat,
memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung
resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami
jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong
peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses
belajarnya. 7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya 8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan
perolehan prestasi peserta didik. (Mulyati, 2005: 182)
- Implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran terlihat pada
Peran siswa sebagai pelaku utama yang memaknai pengalaman
belajarnya, peran pengalaman sebagai ilmu pengetahuan yang didalamnya terdapat
nilai-nilai humanisme dan peran guru sebagai fasilitator yang memfasilitasi
pengalaman belajar.
6. Model pembelajaran humanisme
ü Humaning of The
Classroom
ü Active Learning
ü Quantum Learning
ü The Accelerated
Learning
B.
Saran-Saran
Sebagai seorang mahasiswa yang mengkhususkan diri dalam bidang
pendidikan, berbagai teori belajar
patutnya dikaji lebih dalam agar dalam mencapai impian, dapat diraih kemudahan
dan menjadikan profesionalisme dalam menjalani profesi yang ditekuni nanti, karena
teori belajar selalu berkembang sesuai
perkembangan zaman dan seorang guru terus mengikuti perkembangan teori belajar
mengingat besarnya pengaruh yang dibawanya dalam menetapkan sikap guru dalam
setiap proses belajar mengajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Dakir,
Dasar-dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar.1993.
Dalyono,M.
Psikologi Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta.2012.
Darsono,
Max. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. 2001.
Desmita.
Psikologi Perkembangan Peserta Didik Panduan bagi Orang Tua dan Guru dalam
Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA.Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya.2009
Djiwandono,
Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia. 2006.
F.,
Azies dan A. Chaedar Alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori
dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996.
Hadis,
Abdul. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006.
Herpratiwi.
Teori Belajar dan Pembelajaran.Bandar lampung : Universitas Lampung,
2009.
Mulyati,
Psikologi Belajar. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2005.
Purwo,
Bambang Kaswanti. (ed.).PELLBA 2: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma
Jaya. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. 1989.
Sanjaya,Wina.
Strategi Pembelajaran ;Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta:KENCANA.2014.
Sumanto,
Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Sukmadinata,
dan Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Uno,
Hamzah B. Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan. Jakarta: Bumi
aksara, 2006.
Referensi
lain.
Abdillah,
Hamdi dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Analisis Ilmu Pendidikan). El-Ghazy,
Vol. I, No. 1, Agustus 2012 ) PDF.
[1]
Dra.Desmita,M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik ; Panduan bagi Orang
Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD,SMP,dan SMA,(Bandung
:PT.Remaja Rosdakarya,2009),h.44
[2] Hamdi Abdillah
dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Analisis Ilmu Pendidikan)pdf. El-Ghazy, Vol. I, No.
1, Agustus 2012 )h.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar