Rabu, 29 April 2015

TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN



TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA
DALAM PEMBELAJARAN  






  MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi  tugas mata kuliah  Psikologi Pendidikan Semester
 VI B pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) As’adiyah Sengkang

Oleh : Kelompok XI

MUHLIS

NURUL FADILAH


FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG
2014/2015

KATA PENGANTAR


Segala Puji bagi Allah SWT ,kami mohon ampun dan pertolongan hanya kepada-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan  ke zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI dengan judul  Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran ”.
Terima Kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada orang tua yang telah memberikan dukungan penuh kepada kami, begitu pula kepada Dosen Pembimbing, yang selalu memberikan kritik-kritik membangun demi terwujudnya penulis menjadi mahasiswa yang berguna .
Harapan besar  penulis semoga makalah ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa wawasan baru bagi kami khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada umumnya.
                                                                                Sengkang, 28 Maret 2015
                                                                                     Penulis

                                                              Kelompok V


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................    1-2
A.         Latar Belakang Masalah................................................................      1
B.         Rumusan Masalah.............................................................................. 2

BAB I PEMBAHASAN......................................................................................   3-18
A.        Konsep Teori Belajar Humanistik .................................................      3
B.         Tokoh Teori Humanistik................................................................ .... 6
C.         Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik..................     13
D.        Aplikasi Teori Belajar Humanistik.................................................     14
E.         Implikasi Teori Belajar Humanistik...............................................     15
F.          Model Pembelajaran Humanisme..................................................     16
BAB V. PENUTUP.............................................................................................. 19-20
A.        Kesimpulan....................................................................................     19
B.         Saran  ............................................................................................     20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................     21



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belajar adalah key term, 'istilah kunci' yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan. Belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai sikap, dan perubahan itu bersifat secara relatif konstans dan membekas.
Pribadi manusia itu dapat berubah karena dipengaruhi oleh sesuatu, karena itu ada usaha untuk mendidik pribadi dan membentuk pribadi. Belajar juga memainkan peran penting dalam mampertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis bisa pula terjadi karena belajar.
Menurut Muhibbin Syah, seorang peserta didik yang menempuh proses belajar, idealnya ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman psikologis baru yang positif, yaitu pengalaman-pengalaman bersifat kejiwaan yang diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sifat, sikap, dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan yang destruktif (merusak).  Namun, banyak ditemukan proses pembelajaran terjadi tanpa memperhatikan kondisi psikologis siswa. Sejauh ini, masih banyak teori belajar lebih menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Hal demikian tampak ketika  peserta didik belajar sangat dipengaruhi oleh bagaimana dia berpikir. Guru hanya mengidentifikasi apa yang penting, sulit, atau sesuatu yang belum dikenal, dan membangkitkan informasi yang telah dipelajari. Hal ini juga terlihat dari metode yang digunakan guru masih bersifat konvensional, yaitu ceramah dan hafalan tanpa memperhatikan faktor nilai yang melekat pada diri siswa, sehingga interaksi cenderung bersifat teacher centered (berpusat pada guru).
Guru terkadang hanya memahami bahwa proses pembelajaran hanya sekedar transfer of knowledge, dan hal ini sering tidak disadari oleh guru. Bahkan menurut Reber (1989) sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah, menyatakan bahwa belajar adalah the process of acquiring knowledge (proses memperoleh pengetahuan). Pengertian ini biasanya dipakai oleh aliran psikologi kognitif, sehingga lebih menekankan knowledge dan menafikan value. Menurut Morgan dan kawan-kawan (1986) sebagaimana yang dikutip oleh Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman dan adanya proses internal yang terjadi di dalam diri seseorang. Perubahan ini tidak terjadi karena adanya warisan, genetik, atau respon secara alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisme yang bersifat temporer, seperti kelelahan, pengaruh obat-obatan, rasa takut, melainkan perubahan dalam pemahaman, prilaku, persepsi, motivasi, atau gabungan dari semuanya. Dengan demikian, belajar tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value, sehingga siswa mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganya.
Untuk mengembangkan hal tersebut, seharusnya dalam suatu sistem pendidikan siswa tidak harus menyesuaikan dengan kurikulum (siswa untuk kurikulum), tetapi sebaliknya, kurikulum untuk siswa. Artinya, orientasi belajar bukan menyelesaikan materi, akan tetapi lebih menekankan pada proses penerimaaan materi. Seperti yang diungkapkan oleh aliran teori humanistik, orientasi belajar dalam proses pembelajaran harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh domain yang ada. Dengan kata lain, pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan (emotional approach), komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
B.       Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang, dapat diformulasikan permasalahan pokok sebagai berikut:
  1. Apakah teori belajar humanistik itu?
  2. Siapakah tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik?
3.      Dimana kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme?
  1. Bagaimana aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran
  2. Apa implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran?
6.      Apa saja Model pembelajaran humanisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Teori Belajar Humanisme
Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56). Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Drs.M.Dalyono, 2012 : 43).
Senada dengan pendapat di atas, belajar adalah pentingnya isi dari proses belajar bersifat elektrik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing didepan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi pola perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri (Herpratiwi, 2009: 39). Mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka dan lain-lain disekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif (Sudarwan Danim dan H.Khairil,2011:23-26).
Para teoritikus humanistik, seperti Carls Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1970) menyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengkondisian (conditioning) yang sederhana.Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor diluar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self-direction.[1]
Awal timbulnya psikologi humanistis terjadi pada akhir tahun 1940-an yaitu munculnya suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam pengembangan ini. Misalnya; ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial, konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenalkan dengan psikologi humanistis, eksternal, perseptual atau  fenomenologikal. Psikologi ini berusaha memahami perilaku seseorang dari sudut perilaku (behavior), bukan dari pengamat observer. Dalam dunia pendidikan aliran humanisme muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (Herpratiwi, 2009: 37).
Perhatian psikologi humanistik terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistis penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Gerakan munculnya psikologi humanistik disebabkan oleh semacam kesadaran bersama beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada teori psikologi yang berkemampuan menjelaskan manusia sebagai suatu totalitas dan yang sewajarnya mengfungsikan manusia. Mereka meyakini bahwa tiap individu pada dasarnya mempunyai kapasitas serta dorongan sendiri untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya (Herpratiwi, 2009: 37).
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009: 56). Teori humanisme berfokus pada sikap dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan bertanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar pencarian. Perkembangan pribadi yang muncul berdasarkan keunikan masing-masing individu. Teori ini berfokus pada saat sekarang dan menjadi apa seorang itu dimasa depan. Pendekatan ini menyajikan kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan perkembangan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu siswa menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri dan bertanggung jawab atas arah kehidupanya sendiri (Herpratiwi, 2009: 38). Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13).
Konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 57).
Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan serta bagaimana mereka akan mempelajarinya merupakan ciri utama pendekatan humanisme. Bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated leaner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka  memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Pengertian humanisme yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Kata humanisme dalam pendidikan, dalam artikel “what is humanistic education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanisme (Herpratiwi, 2009: 38).
Nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme sebagai berikut.
1.  Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, dan bisa dipercaya).
2.  Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, dan bisa berempati terhadap problem orang lain).
3.  Menjaga lingkungan (menghemat penggunaan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll. Menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain).
4.  Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, dan berlaku pantas didepan publik).
5.  Perkembangan pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik, serta menghargai keindahan) (Herpratiwi, 2009: 41).
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidiknya yang beraliran humanisme juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanisme mencoba untuk melihat dalam spektrum yang lebih luas mengenai perilaku manusia. (Herpratiwi, 2009: 42).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari para  pendidik beraliran humanisme. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).
B.       Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme
1.      Athur W. Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Konsep pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif (Herpratiwi, 2009: 45).
Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut. Sehingga, apabila ingin mengubah perilaku siswa tersebut guru harus mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah menyatu pada materi pelajaran tersebut. Dalam hal ini yang penting ialah bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
Arthur W. Comb ialah seorang humanis, ia berpendapat bahwa perilaku batiniah seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berfikir tentang dirinya. Pendidikan dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatanya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam pembelajaran menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik. Karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil (Herpratiwi, 2009: 45).
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang tertitik pusat satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri, makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
2.      Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
 Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi lima hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa terpenuhi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).  Artinya, jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa nyaman, mereka akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk memiliki dan untuk dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri”[2].
Adapun Teorinya yang paling di kenal adalah teori tentang Hierarchy of Needs (hierarki kebutuhan)  menurut Maslow sebagai berikut.
ü  Kebutuhan fisiologis/ dasar.
ü  Kebutuhan akan rasa  aman dan tentram.
ü  Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
ü  Kebutuhan untuk dihargai.
ü  Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).
1.      Kebutuhan fisiologi/ dasar/jasmaniah (Basic Needs) seperti makan, minum dan tidur
2.      Kebutuhan akan rasa aman dan tentram (Safety Needs) seperti kesehatan. Keamanan lingkungan dan terhindar dari bencana.
3.      Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (Belongingness Needs) seperti persahabatan, keluarga dan kelompok.
4.      Kebutuhan untun dihargai (Esteem Needs) seperti harga diri dan penghargaan orang lain.
5.      Kebutuhan untuk aktualisasi diri (Self Actualization Needs) seperti moralitas, ekspresi diri dan kreativitas.
Implikasi teori ini terhadap pembelajaran sangat penting, guru harus memperhatikan teori ini, apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan tugas, mengapa anak tidak dapat tenang dalam kelas atau bahkan tidak memiliki motivasi dalam belajar. Menurut Maslow guru tidak dapat menyalahkan kesalahan ini secara langsung pada si anak, bisa jadi beberapa kebutuhan anak belum terpenuhi secara baik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”, Maslow mencoba untuk mengkritik Freud dan Behavioristik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimiliknya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para pendidika yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan pengajaranya pada pembangunan kemampuan positif (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya ialah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59).
Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi, dapat dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita peroleh dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia atau dengan Freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow menggambarkan motivasi manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 60).
3.      Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi, 2009: 49).
Rogerss membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,  evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogerss, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, sebagai berikut.
a.    Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b.   Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c.   Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d.  Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern belajar tentang proses (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61).
Dari bukunya freedom to learn, ia menunjukan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya sebagai berikut.
1.    Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2.    Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3.    Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.    Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabika ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.    Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6.    Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7.    Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam prose belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8.    Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9.    Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10.  Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61-62).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogerss, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975. Model ini mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif.  Menurut Roger, peranan guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam :
(1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar,
(2) membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar,
(3) membantu peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar,
(4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan
(5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana adanya. (Hadis, 2006: 72)
Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat masalah yang berkaitan dengan disiplin, mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 63).
Teori Rogerss dalam bidang-bidang pendidikan dibutuhkan 3 (tiga) sikap oleh fasilitator belajar, yaitu: (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan, penerimaan dan kepercayaan, dan (3) pengertian empati. Dari ketiga sikap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.    Realitas di dalam fasilitator belajar
Merupakan sikap dasar yang penting. Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri. Sehingga ia dapat masuk ke dalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
2.    Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan tersebut maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan yang lainnya.
3.    Pengertian yang empati
Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang senditif bagi jalanya proses pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari sudut murid bukan guru (Herpratiwi, 2009: 53).
C.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik
Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan teori belajar humanistik, sebagai berikut.
1.      Kelebihan teori belajar humanistik
·         Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
·         Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
·         Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
2.      Kelemahan teori belajar humanistik
ü  Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurang aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
D.      Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan (Sumanto, 1998: 235). Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64).
Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah  memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran sidentitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus  berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61). Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai berikut.
a.  Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b.  Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
c.  Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e.  Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang ditunjukan.
f.  Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko  perbuatan atau proses belajarnya.
g.  Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h.  Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa  (Mulyati, 2005: 182)
E.       Implikasi Teori Belajar Humanistik
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Hal yang menjadi Ilmu pengetahuan merupakan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud dalam hal ini adalah serangkaian proses pembelajaran yang didalamnya terdapat nilai-nilai humanisme dan telah dilalui oleh peserta didik. Adapun peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik  saat guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
Psikologi humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai berikut.
a.   Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
b.   Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.   Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna.
d.   Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk mencapai tujuan mereka.
e.   Fasilitator menempatkan dirinya disuatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.    Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun bagi kelompok.
g.   Bilamana kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
h.   Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.    Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
j.    Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri (Dakir, 1993: 65).
Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih menitik beratkan pada proses belajar daripada hasil belajar. 
F.       Model Pembelajaran Humanisme
1.   Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga hal, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.  Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
3.  Quantum Learning merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan  metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
4.  The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual  dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning bay talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan  pengalaman belajar efektif .


BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1.  Teori belajar humanistik yaitu
ü  Belajar untuk memanusiakan manusia.Manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar.
  1.  Tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik yaitu Arthur W. Combs, Abraham Malsow dan Carl Ransom Rogerss.
3.       Kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme.
ü  Kelebihan
Ø  Sangat cocok untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial ; siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. ; dan siswa menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.
ü  Kekurangan
Ø  Kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif; siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri ; peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.
  1.  Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran sebagai berikut.
Pada umumnya : 1.  Merumuskan tujuan belajar yang jelas 2. Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif. 3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri 4. Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri 5.  Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. 7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya 8.  Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi peserta didik. (Mulyati, 2005: 182)
  1.  Implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran terlihat pada
Peran siswa sebagai pelaku utama yang memaknai pengalaman belajarnya, peran pengalaman sebagai ilmu pengetahuan yang didalamnya terdapat nilai-nilai humanisme dan peran guru sebagai fasilitator yang memfasilitasi pengalaman belajar.
6.       Model pembelajaran humanisme
ü  Humaning of The Classroom
ü  Active Learning
ü  Quantum Learning
ü  The Accelerated Learning
B.     Saran-Saran
Sebagai seorang mahasiswa yang mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan,  berbagai teori belajar patutnya dikaji lebih dalam agar dalam mencapai impian, dapat diraih kemudahan dan menjadikan profesionalisme dalam menjalani profesi yang ditekuni nanti, karena  teori belajar selalu berkembang sesuai perkembangan zaman dan seorang guru terus mengikuti perkembangan teori belajar mengingat besarnya pengaruh yang dibawanya dalam menetapkan sikap guru dalam setiap proses belajar mengajar.


DAFTAR PUSTAKA

Dakir, Dasar-dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar.1993.
Dalyono,M. Psikologi Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta.2012.
Darsono, Max. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. 2001.
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik Panduan bagi Orang Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA.Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.2009
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 2006.
F., Azies dan A. Chaedar Alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996.
Hadis, Abdul. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006.
Herpratiwi. Teori Belajar dan Pembelajaran.Bandar lampung : Universitas Lampung, 2009.
Mulyati, Psikologi Belajar. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2005.
Purwo, Bambang Kaswanti. (ed.).PELLBA 2: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. 1989.
Sanjaya,Wina. Strategi Pembelajaran ;Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta:KENCANA.2014.
Sumanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Sukmadinata, dan Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Uno, Hamzah B. Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan. Jakarta: Bumi aksara,  2006.

Referensi lain.

Abdillah, Hamdi dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  (Analisis Ilmu Pendidikan).  El-Ghazy, Vol. I, No. 1, Agustus 2012  ) PDF.



[1] Dra.Desmita,M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik ; Panduan bagi Orang Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD,SMP,dan SMA,(Bandung :PT.Remaja Rosdakarya,2009),h.44
[2] Hamdi Abdillah dan Hardiyat , TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  (Analisis Ilmu Pendidikan)pdf.  El-Ghazy, Vol. I, No. 1, Agustus 2012  )h.21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar