Jurusan :
Pendidikan Agama Islam
Semester :
VI B
INTISARI PSIKOLOGI
PENDIDIKAN
A. Hakekat
Psikologi Pendidikan.
B. Kontribusi
Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran.
C. Hakekat
dan Ragam Belajar.
D.
Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat
dalam Pembinaan Anak.
E.
Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam
Pembelajaran.
F.
Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya
dalam Pembelajaran.
G.
Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam
Pembelajaran.
H.
Teori Belajar Konstruktivistik dan Implikasinya
dalam Pembelajaran
Oleh :
NURUL FADILAH
122200040
FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AS’ADIYAH SENGKANG
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Segala Puji bagi Allah SWT, limpahan syukur
penulis atas kesempatan untuk terus hidup didunia ini hanya kepada-Nya.
Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa umat manusia dari zaman kebodohan
ke zaman penuh ilmu pengetahuan yang berkat Ilmu itu penulis dapat
menyelesaikan “Intisari Psikologi Pendidikan ” ini.
Intisari ini tersusun dari kumpulan makalah
sahabat-sahabat semester VI B tentang materi-materi psikologi pendidikan. Dalam
beberapa bagian kata penulis memberi warna merah gelap, kumpulan kata berwarna
merah gelap tersebut merupakan pokok pikiran yang penulis pilih dari tiap
paragraf, hal ini ditujukan untuk mempermudah pembaca memahami isi dari tiap
paragraf yang ada.
Terima Kasih yang tidak terhingga penulis haturkan
kepada orang tua yang masih memperhatikan penulis, keluarga yang terus
memberikan bantuan moril dan materill untuk kelancaran studi masa ini, kepada
Dosen Pembimbing, yang selalu memberikan kritik-kritik membangun demi
terwujudnya penulis menjadi mahasiswa yang berguna, dan segenap teman
seperjuangan yang menerima penulis ditengah-tengah mereka.
Harapan besar
penulis semoga karya ini dapat menjadi manfaat dan memberi beberapa
wawasan baru bagi penulis khususnya, teman-teman dan pada pembaca sekalian pada
umumnya. Kritik dan saran yang membangun penulis sangat harapkan.Terima kasih.
Wabillahi Taufik Wassa’adah.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Sengkang, 1 Mei 2015
Penulis
Nurul
Fadilah
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................................................................................. 1
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................................................................... 2
DAFTAR
ISI......................................................................................................................................................................... 3
A.
Hakekat Psikologi Pendidikan................................................................................................
4
B.
Kontribusi Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran....................................... ........ 4
C.
Hakekat dan Ragam Belajar................................................................................................... ........ 5
D.
Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat dalam Pembinaan Anak.................... ........ 6
E.
Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam Pembelajaran......................................... ........ 6
F.
Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya dalam Pembelajaran............................... ........ 8
G.
Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran................................. ........ 10
H.
Teori Belajar Konstruktivistik dan Implikasinya dalam Pembelajaran.................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................................................. 14
A. Hakekat
Psikologi Pendidikan
Secara etimologis, psikologi berasal dari kata
“psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat
dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu
yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu
yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan
psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena
jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara
langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang
paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu
sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu
ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Menurut Muhibin Syah (2002), pengertian
Psikologi Pendidikan
adalah sebuah disiplin psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang
terjadi dalam dunia pendidikan.Psikologi pendidikan merupakan penerapan prinsip
dan metode psikologi untuk mengkaji perkembangan, belajar, motivasi,
pembelajaran, penilaian, dan isu-isu terkait lainnya yang mempengaruhi
interaksi belajar mengajar[1].
B. Kontribusi
Psikologi Pendidikan dalam Bidang Pembelajaran
Dengan memahami psikologi
pendidikan, seorang guru dalam bidang pembelajaran dengan melalui pertimbangan
– pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :
1.
Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
Guru akan
dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki
sebagai tujuan pembelajaran.
Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi
perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
2.
Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi
pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode
pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik
dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan
yang sedang dialami siswanya.
3.
Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di
samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para
siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan
bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan
interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4.
Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha
untuk mengembangkan
segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan
minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada
siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa
pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami
kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar
siswanya.
5.
Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran
membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi
pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim
sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan
nyaman dan menyenangkan.
6.
Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang
psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih
bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7.
Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi
pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang
lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian
maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
C. Hakekat
dan Ragam Belajar
1.
Hakekat
Belajar
Hakekat belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
secara sadar dan terus menerus melalui bermacam-macam aktivitas dan pengalaman
guna memperoleh pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku
yang lebih baik. Perubahan tersebut bisa ditunjukkan dalam berbagai
bentuk seperti perubahan dalam hal pemahaman, pengetahuan, perubahan sikap,
tingkah laku dan daya penerimaan. Belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan untuk mendapatkan suatu perubahan yang baru sebagai akibat
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Hubungan belajar
dengan perubahan tingkah laku terhadap suatu situasi tertentu yang
berulang-ulang dalam situasi belajar. Dari pengertian tersebut maka dapat
diartikan hakekat belajar adalah perubahan dan meningkatnya kualitas tingkah
laku seseorang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus.[2] Secara umum belajar dapat dipahami sebagai
tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai
hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses
kognitif. Sehubungan dengan pengertian itu perlu diutarakan sekali lagi bahwa
perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila,
mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.[3]
2. Ragam - Ragam Belajar
Keanekaragaman jenis belajar ini muncul
dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga
bermacam – macam.
a. Ragam
abstrak ialah belajar yang
menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya
adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak
nyata.
b. Ragam
keterampilan adalah belajar dengan
menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan
urat-urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan
menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini
latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam
jenis ini misalnya belajar olahraga, music, menari, melukis, memperbaiki
benda-benda elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti
ibadah sholat dan haji.
c.
Ragam social adalah belajar memahami
masalah-masalah dan tehnik-tehnik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai
pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti dalam
masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah
lain yang bersifat kemasyarakatan.
d. Ragam
pemecahan masalah adalah belajar
menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis,
teratur, dan teliti.
Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan koknitif untuk
memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu kemampuan
siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalisasi serta
insight (tilikan akal) amat diperlukan.
e. Ragam
rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan
sistematis (sesuai dengan akal sehat).
Tujuannya ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan
prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya
dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan
memiliki kemampuan rational problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah
dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis dan sistematis
(Reber, 1998).
f.
Ragam kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau
perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan
perintah, suri tauladan dan pemgalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan
ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan perbuatan
baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan
waktu (kontekstual).
g. Ragam apresiasi belajar mempertimbangkan
(judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh
dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal
ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nialai objek tertentu misalnya
apresiasi sastra, apresiasi music, dan sebagainya.
h. Ragam pengetahuan ialah belajar dengan
cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan
sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran
dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1988). Tujuan
belajar pengetahuan adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan
pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan
memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan
alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.[4]
D.
Kerjasama Orangtua, Sekolah dan Masyarakat
dalam Pembinaan Anak
- Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama
dan utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan
kepribadian anak sangatlah dominan.Dalam
hal ini, orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menumbuhkankembangkan fitrah beragama anak.Menurut Hurlock (1956: 434),
keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai. Pengembangan
fitrah atau jiwa beragama anak, segoyinya bersamaan dengan perkembangan
kepribadiannya, yaitu sejak lahir bahkan lebih bahkan lebih dari itu sejak
dalam kandungan. Pandangan ini didasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap
orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ternyata, mereka itu dipengaruhi oleh
keadaan emosi atau sikap orangtua (terutama ibu) pada masa mereka dalam
kandungan.
2.
Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan,
pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembangan sesuai
dengan potensinya.Menurut
Hurlock (1959: 561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak
sangat besar, karena sekolah merupakan
substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orangtua.Dalam kaitannya
dengan upaya mengembangan fitrah beragama para siswa, maka sekolah, terutama
dalam hal ini guru agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang
mulia dan sikap apresiatif terhadap ajaran agama.
3.
Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan
sosiokultural yang secara potensial bepengaruh terhadap perkembangan fitrah
beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam masyarakat, individu
(terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan interaksi sosial dengan teman
sebayanya atau anggota masyarakat lainnya.[5]
Dalam membina anak ketiga hal diatas harus
bersinergi dengan baik dan berkolaborasi secara rukun agar anak terbina menjadi
insan yang berdayaguna baik bagi sesamanya maupun bagi dirinya sendiri.
E.
Karakteristik dan Perbedaan Individual dalam
Pembelajaran
1.
Karakteristik individual
Karakteristik individual adalah
keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada individu sebagai hasil dari
pembawaan dan lingkungan.[6]
Keberagaman
karakteristik yang dimiliki siswa menjadi faktor pendukung dan sekaligus
menjadi penghambat dalam kegiatan belajar mengajar.
a.
Karakteristik
Biologis
Khodijah
(2011:182): Aspek biologis yang terkait langsung dengan penerimaan pelajaran di
kelas adalah kesehatan mata dan telinga. Anak didik yang memiliki
masalah tertentu dalam penglihatan dan pendengarannya akan mengalami masalah
tersendiri dalam menerima pelajaran. Dalam hal ini, bila kondisi faktor-faktor
lain adalah sama, maka anak yang sehat fisiknya secara menyeluruh akan lebih
berpeluang untuk mencapai prestasi yang maksimal.Kesehatan fisik anak didik
perlu mendapat perhatian serius dari guru. Tidak semua siswa mengikuti
pembelajaran dengan kondisi fisik yang baik. Kondisi fisik kurang sehat akan
mengganggu siswa belajar.
b.
Karakteristik
Psikologis
Khodijah
(2011:183): ”Perbedaan psikologis pada siswa
mencakup perbedaan dalam minat, motivasi, dan kepribadian.”Perbedaan
siswa dalam hal minat, motivasi, dan kepribadian akan selalu ditemui pada sekelompok
siswa. Tidak semua siswa mengikuti pelajaran dengan minat yang tinggi terhadap
mata pelajaran. Ada siswa yang dengan setengah hati mengikuti pelajaran. Demikian pula dengan perbedaan motivasi, ada siswa
yang memiliki motivasi tinggi sehingga sangat aktif mengikuti pelajaran,
sedangkan yang lainnya mungkin setengah termotivasi atau bahkan tidak
termotivasi untuk belajar. Kepribadian siswa juga berbeda, ada siswa yang
terbuka sehingga mudah bergaul dan mempunyai banyak teman, tetapi adapula siswa
yang tertutup sehingga sulit bergaul dan terkesan tidak mempunyai teman karena
sering menyendiri.
c.
Karakteristik Intelegensi
Khodijah (2011:101): ”Intelegensi adalah kemampuan potensial umum untuk belajar dan bertahan
hidup, yang dicirikan dengan kemampuan untuk belajar, kemampuan untuk berpikir
abstrak, dan kemampuan memecahkan masalah”.Setiap anak memiliki tingkat
intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menambah keunikan dalam suatu kelas
pembelajaran. Ada siswa yang dengan cepat mampu menyerap materi pembelajaran
dan ada siswa yang lamban menyerapnya. Ada siswa yang mampu dengan cepat
menyelesaikan soal ujian atau tugas, dan ada siswa membutuhkan waktu lama untuk
menyelesaikan satu tugas saja.
d.
Karakteristik
Bakat
Bingham
dalam (Khodijah 2011:185-186) mendefinisikan bakat: As a condition or set of
charateristics regarded as symptomatic of an individual’s ability to acquire
with training some (usually specified) knowledge, skill, or set of responses
such as the ability to speak a language, to produce mucic, ...etc. (sebagai sebuah kondisi atau rangkaian karakteristik yang dianggap sebagai gejala
kemampuan seorang individu untuk memperoleh melalui latihan sebagian
pengetahuan, keterampilan, atau serangkaian respon seperti kemampuan berbahasa,
kemampuan musik, ... dan sebagainya).Siswa yang belajar sesuai
dengan bakatnya akan lebih mudah menerima dan menguasai materi pembelajaran
jika dibandingkan dengan siswa yang tidak berbakat dalam mata pelajaran
tertentu. Walaupun siswa yang tidak berbakat juga sangat dimungkinkan untuk
menerima materi pembelajaran dengan lebih baik.
e.
Karakteristik
Lainnya
Khodijah (2011:187): ”Perbedaan
individual lain yang banyak diteliti oleh para ahli adalah perbedaan jenis
kelamin, perbedaan etnis, dan perbedaan kondisi sosial ekonomi”.Siswa
laki-laki dan siswa perempuan berbeda karakteristiknya. Secara
umum, siswa perempuan akan lebih rajin daripada siswa perempuan. Kondisi sosial
ekonomi orangtua siswa sangat beragama, secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi kelompok sosial ekonomi bawah, kelompok sosial ekonomi sedang, dan
kelompok sosial ekonomi atas. Mayoritas siswa berasal dari kelompok sosial
ekonomi sedang.[7]
2.
Perbedaan Individual dalam Pembelajaran.
Setiap anak adalah unik. Ketika kita
memperhatikan anak-anak di dalam ruang kelas, kita akan melihat perbedaan
individual yang sangat banyak. Bahkan anak latar belakang usia hampir sama,
akan memperlihatkan penampilan, kemampuan temperamen, minat dan sikap yang
sangat beragam.Dalam
kajian psikologi, masalah individu mendapat perhatian yang besar, sehingga
melahirkan suatu cabang psikologi yang dikenal dengan Individual Psychology,
atau differential Psychology, yang memberikan perhatian besar
terhadap penelitian tentang perbedaan antar individu. Ini didasarkan atas
kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada dua orang
yang persis sama. Bahkan anak kembar sekali pun masih ditemukan adanya
beberapa dimensi perbedaan di antara keduanya. Dalam
tinjauan psikologi Islam, perbedaan individual tersebut dipandang sebagai
realitas kehidupan manusia yang sengaja diciptakan Allah untuk dijadikan bukti
kebesaran dan kesempurnaan ciptaan-Nya.[8] Berikut
adalah beberapa perbedaan pada individu.
a.
Perbedaan
Kognitif
Menurut
Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah
menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taxonomi Bloom,
yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Kemampuan kognitif
merupakan kemampuan yang berkaitan dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya kemampuan
kognitif merupakan hasil belajar. Hasil belajar dalam hal ini merupakan
perpaduan antara pembawaan dengan pengaruh lingkungan. Proses pembelajaran
adalah upaya menciptakan lingkungan yang bernilai positif, diatur dan
direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang dimiliki oleh anak.
b.
Perbedaan
dalam Kecakapan Bahasa
Bahasa
adalah salah satu kemampuan individu yang penting sekali dalam kehidupannya.
Kemampuam berbahasa merupakan kemampuan individu
untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang
bermakna, logis, dan sistematis. Kemampuan berbahasa setiap individu
berbeda. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor
lingkungan termasuk faktor fisik (organ untuk bicara).
c.
Perbedaan
dalam Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik atau kemampuan psikomotorik
merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi
kerja syaraf motorik yang dilakukan oleh syaraf pusat (otak) untuk melakukan
kegiatan. Kegiatan ini terjadi karena kegiatan kerja syaraf yang
sistematis. Alat indra menerima rangsangan, rangsangan tersebut diteruskan
melalui syaraf sensoris ke syaraf pusat (otak) untuk diolah, dan hasilnya
dibawa oleh syaraf motorik untuk memberikan reaksi dalam bentuk gerakan-
gerakan atau kegiatan.
d.
Perbedaan
dalam Latar Belakang
Latar belakang individu
dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dari dalam misalnya,
kecerdasan, kemauan, bakat, minat, emosi, perhatian, kebiasaan bekerja sama,
dan kesehatan yang mendukung belajar. Anak-anak juga berbeda diapandang dari
segi latar belakang budaya dan etnis. Motivasi untuk belajar berbeda antara
budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Perbedaan
latar belakang, yang meliputi perbedaan sisio-ekonomi sosio cultural, amat penting artinya bagi
perkembangan anak. Akibatnya anak-anak pada umur yang sama tidak selalu
berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang
lebih luas.
e.
Perbedaan
dalam Bakat
Bakat adalah kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir.
Bakat dapat juga diartikan sebagai kemampuan dasar
yang menentukan sejauh mana keberhasilan seseorang untuk memperoleh keahlian
atau pengetahuan tertentu bilamana seseorang diberi latihan-latihan tertentu.
Misalnya seseorang yang mempunyai bakat numerical yang baik, bila diberi
latihan-latihan akuntansi keuangan, akan mudah untuk menguasai masalah
akuntansi, begitu pula sebaliknya.[9]
F.
Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya
dalam Pembelajaran (Stimulus Respon)
1.
Teori
Belajar Behavioristik
Merupakan
teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan
stimulus-respons. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan. Stimulus yaitu apa saja
yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan
atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon
yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat
berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Seseorang dianggap telah
belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Dalam teori Behavioristik, yang terpenting itu
adalah masukan atau input yang berupa stimulus serta output yang
berupa respon. Apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidaklah
penting karena tidak dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran sebab dengan pengukuran kita akan melihat terjadi tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini adalah
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
respon.
2.
Kelebihan
serta Kekurangan Teori Behavioristik
a.
Kelebihan
Teori Behavioristik.
ü Murid terbiasa belajar mandiri.
ü Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan.
ü Mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa.
ü Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan
daya tahan.
ü Cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru,
dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
b.
Kekurangan
Teori Behavioristik
ü Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode
ini.
ü Hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh
behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.
ü Cenderung mengarahkan siswa sebagai individu yang
pasif.
ü Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher
centered)
ü Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi
siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah,
guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
3.
Implikasi Teori Behavioristik dalam pembelajaran
Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind
atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Pebelajar dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam
proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar
atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.[10]
G.
Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam
Pembelajaran(Memanusiakan manusia)
1.
Konsep Teori Belajar Humanisme
Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki
tujuan belajar untuk memanusiakan manusia.
Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar
telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik
mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 56).
Menurut aliran humanistik, para
pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan
pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa
psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang
untuk menjadi lebih baik dan juga belajar (Sukarjo dan Komarudin, 2009:
56 ) Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanisme, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Jadi bisa
dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang nampak dari
para pendidik beraliran humanisme.
Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi
sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar
menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini
sama seperti yang ingin kita dapatkan dari pendidikan yang menitik beratkan
kognitif (Herpratiwi, 2009: 42-43).
- Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme
a.
Athur W. Combs (1912-1999)
Meaning (makna atau arti) adalah konsep
dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan
demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan
mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi
karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain
hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.
(Herpratiwi, 2009: 45). Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia
orang lain seperti ia merasa dan berfikir tentang dirinya. Pendidikan
dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta
didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatanya aneh
bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam pembelajaran menurut
para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru
informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik
beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun
rapi dan disampaikan dengan baik. Karena peserta didik sendirilah yang menyerap
dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah
bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik
memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta
didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar
hati karena misinya telah berhasil (Herpratiwi, 2009: 45). Hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan
oleh siswa (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58).
- Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada
asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif
untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan
takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi disisi
lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri
menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 58). Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi lima hierarki.
Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan
fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya,
ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan
manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting dan harus
diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan
motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa terpenuhi
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 59). Artinya,
jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa nyaman, mereka
akan distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk
memiliki dan untuk dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka
sendiri”[11].
Adapun hierarki kebutuhan
menurut Maslow sebagai berikut.
1) Kebutuhan
fisiologis/ dasar.
2) Kebutuhan
akan rasa aman dan tentram.
3) Kebutuhan
untuk dicintai dan disayangi.
4) Kebutuhan
untuk dihargai.
5) Kebutuhan
untuk aktualisasi diri (Herpratiwi, 2009: 49).
c.
Carl Ransom Rogerss (1902-1987)
Rogerss ialah seorang psikolog humanistik yang
menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien
dan terapisit) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Rogerss meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang
benar. Menurut Rogerss, teknik-teknik assesment
dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien (Herpratiwi,
2009: 49). Peranan
guru dalam kegiatan belajar peserta didik menurut pandangan teori humanisme
adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam :
1) Membantu
menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif
terhadap belajar,
2) Membantu
peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk belajar
3) Membantu
peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan
pendorong belajar
4) Menyediakan
berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan
5) Menerima
pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana
adanya. (Hadis, 2006: 72)
Rogerss membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif
(kebermaknaan) dan experiental
(pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam
pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki
mobil. Experiental learning menunjuk pada
pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup; keterlibatan siswa secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa
sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
- Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme
a.
Kelebihan teori belajar humanisme
- Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
- Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
- Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
b.
Kelemahan teori belajar humanisme
- Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif.
- Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri,
- Peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
- Implikasi Teori Belajar Humanistik
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh
atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang
diterapkan. Hal yang menjadi Ilmu pengetahuan merupakan pengalaman. Pengalaman
yang dimaksud dalam hal ini adalah serangkaian proses pembelajaran yang
didalamnya terdapat nilai-nilai humanisme dan telah dilalui oleh peserta didik.
Adapun peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi
para peserta didik , guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta
didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan
mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin,
atau etika yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).Peserta didik
berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya, Oleh sebab itu, Guru memandang
segala perbuatan siswa dalam pembelajaran dianggap baik.
H.
Teori Belajar Konstruktvistik dan Implikasinya
dalam Pembelajaran (Asimilasi Akomodasi)
- Teori Belajar Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan
lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi bahwa “
Konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya”.
Kenyataan menunjukkan bahwa
seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapatkan siswa-siswanya mempunyai
pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya,
padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama,
dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak
begitu saja di transfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan
siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga
pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara berbeda-beda oleh siswa. Pengetahuan
tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berfikir,
bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu
siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di
kelas. Ia telah membawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan
untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar perpaduan pengetahuan
sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka.
- Macam-Macam Konstruktivisme
a. Teori
Konstuktivistik Kognitif dari Jean Piaget (Psikologis Personal)
Seorang individu sejak bayi telah mengeksplorasi
lingkungannya untuk mendapatkan pengetahuan. Keterampilan ini membentuk skema, yaitu suatu bentuk pemahaman terhadap objek yang digunakan
individu untuk mengenali
pengetahuan yang akan dipelajari kemudian. Tujuan
pengembangan skema ialah untuk
memeroleh keseimbangan. Keseimbangan dalam arti
individu mampu memahami dan
berinteraksi secara adaptif dan efektif dengan
lingkungan. Saat individu mengalami hal baru, timbul
ketidakseimbangan. Hal ini menuntut individu mengembangkan mekanisme asimilasi dan akomodasi. Asimiliasi
yaitu penyesuaian pengetahuan baru dengan skema yang sudah ada. Sebaliknya akomodasi
merupakan penyesuaian skema terhadap pengetahuan yang baru. disebut sebagai skema. Menurut Piaget, mekanisme adaptasi dengan pola akomodasi dan asimilasi merupakan tahapan yang sejalan dengan tahapan perkembangan
fisik (dan kemampuan
kognitif) anak. Dari sinilah teori Piaget dijadikan
sebagai teori perkembangan kognitif yang berkontribusi
pula bagi teori-teori kecerdasan dalam bidang psikologi.
b. Teori
Konstruktivisme Sosial dari Lev Vigotsky (Psikologis Sosial)
Lev Vigotsky adalah seorang psikolog Rusia yang menekankan pada konteks social dalam proses belajar. Konteks sosial budaya merupakan alat berpikir (the cognitive tools)
yang diperlukan bagi perkembangan individu. Alat atau sarana berpikir ini
meliputi peran orang
tua,
guru, bahasa (termasuk sarana informasi melalui media
elektronika) sebagai sumber belajar. Keterlibatan
individu dalam interaksi sosial dengan orang lain merupakan proses pengonstruksian pengetahuan. Individu akan berkembang fungsi alat berpikirnya (tool of the mind) melalui interaksi dengan kehidupan sosial dan
kelompoknya. Keterkaitan alat berpikir dan
peran lingkungan dikemukakan oleh Vigotsky melalui
kegunaan alat berpikir, yaitu:
1)
Membantu
memecahkan masalah.
2)
Memerluas
kemampuan.
3)
Melakukan
sesuatu sesuai dengan kapasitas alami.
- Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik
Proses belajar dengan pendekatan konstruktivistik memercayai bahwa
proses berpikir
berlokasi (berada dalam situasi) sosial dan fisik.
Menurut Piaget, anak akan belajar dengan baik bila anak secara aktif mencari solusi dari persoalan yang dihadapinya.
Melalui proses penemuan,
refleksi dan membagikan pengetahuan baru tersebut
melalui diskusi bersama teman
sekelompoknya. Vigotsky berasumsi bahwa pembelajaran
kolaboratif akan menyediakan
lingkungan belajar yang akan membantu optimalisasi
belajar.
Unsur filosofi
dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu kebebasan dan keberagaman. Kebebasan
yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa
yang mampu dan mau dilakukan individu. Keberagaman
yang dimaksud yaitu individu
menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pembelajaran
konstruktivistik yang menekankan
pada keaktifan siswa menuntut guru untuk berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran.
Ø Teori
konstruktivisme memiliki implikasi penting dalam pembelajaran. Menurut Hoover ada empat implikasi, diantaranya;
a. Guru
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dan mengevaluasi tingkat pemahaman melalui
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa saat ini.
b. Guru
harus menyadari pengalaman siswa bisa berbeda dengan pengetahuan yang saat ini dipelajari.
c.
Siswa mengaplikasikan
pemahaman yang ada untuk memahami situasi yang baru. Guru harus bisa yakin bahwa pengalaman
belajar yang diberikan sesuai dan penting bagi siswa (bukan bagi guru).
d. Pengetahuan
baru yang dibangun secara aktif memerlukan waktu untuk memahami, jika pemahaman berbeda,
bagaimana siswa dapat memerbaiki cara pandangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah.1995. Psikologi Pendidikan
Dengan Pendeketan Baru .Bandung : PT
Rosda Karya Remaja.
Muhibbin Syah. 2013. Psikologi
Belajar .Jakarta : Rajawali Pres.
Syamsul Yusuf LN. 2003. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.
Desmita.2009. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik .Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sumber lainnya
Hamdi Abdillah dan Hardiyat ,
TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Analisis Ilmu
Pendidikan)pdf. El-Ghazy,
Vol. I, No. 1, Agustus 2012 )PDF.
http://pgmistain.blogspot.com/2012/06/hakikat-psikologi-pendidikan.html.
http://seputarpendidikan003.blogspot.com/2013/07/hakekat-belajar.diakses
8 Maret 2015)
Areknuret,
karakteristik dan perbedaan individu
(htpp://areknuret.wordpress.com/2012/03karakteristik-dan-perbedaan-individu.
diakses 13 Maret 2015
Mufaesa,
karakteristiksiswadanhubungannya (htpp://www.mufaesa.blogspot.com/2012/03karakteristik-siswa-dan-hubungannya.html.
diakses 13 Maret 2015)
[1] http://pgmistain.blogspot.com/2012/06/hakikat-psikologi-pendidikan.html.
[5] Syamsul Yusuf LN, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. (Bandung: PT Rosda Karya Remaja. 2003), h.
138-141.
[7]Mufaesa,
karakteristiksiswadanhubungannya (htpp://www.mufaesa.blogspot.com/2012/03karakteristik-siswa-dan-hubungannya.html. diakses 13 Maret 2015)
[9] Areknuret, karakteristik dan perbedaan
individu (htpp://areknuret.wordpress.com/2012/03karakteristik-dan-perbedaan-individu.
diakses 13 Maret 2015)
[10]
https://sukronfirudin52.wordpress.com/2014/06/03/makalah-psikologi-pendidikan-teori-teori-belajar-dan-implikasinya-dalam-kelas/
[11] Hamdi Abdillah dan Hardiyat
, TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Analisis Ilmu Pendidikan)pdf. El-Ghazy,
Vol. I, No. 1, Agustus 2012 )h.21